BAB II
LANDASAN TEORI
A. Terminologi Hadits Nabawi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu hadits, sunnah, atsar, dan khabar. Jumhur ulama menyamakan arti hadits dan sunnah, atau dengan kata lain keduanya merupakan kata sinonim (muradif). Hanya saja istilah hadits lebih sering digunakan oleh ulama hadits. Sedangkan ulama ushul fiqh lebih banyak menggunakan istilah sunnah . Nabi sendiri menamakan ucapannya dengan sebutan al-hadits untuk membedakan antara ucapan yang berasal dari beliau sendiri dengan yang lain . Berikut ini uraian dari beberapa istilah di atas:
1. Hadits
Kata hadits secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid (baru, antonim kata qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat). Sedangkan secara terminologi hadits adalah segala ucapan, perbuatan, ketetapan dan karakter Muhammad Saw setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
2. Sunnah
Sunnah secara etimologi adalah perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui baik yang tercela maupun yang terpuji . Sedangkan secara terminologi sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing .
a. Menurut ulama ahli hadits, sunnah adalah semua hal yang berasal dari Nabi, baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Menurut pengertian ini sunnah bisa meliputi fisik maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang berasal dari Nabi; baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah sunnah.
b. Ulama usul fiqh memberikan definisi yang hampir sama, namun mereka membatasi sunnah hanya dengan yang bisa dijadikan acuan pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai syari’ (pembuat syariat) di samping Allah. Hanya saja ketika ulama usul mengucapkan hadits secara mutlak maka yang dimaksud adalah sunnah qawliyah. Karena menurut mereka sunnah memiliki arti yang lebih luas dari hadits, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum. bukan sebatas ucapan saja .
c. Ulama fiqh mendefinisikan sunnah dengan suatu hal mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang Nabi saw sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatannya mengandung hukum syara’.
3. Khabar dan Atsar
Pengertian khabar dan atsar menurut ulama hadits adalah sama dengan hadits. Namun sebagian ulama berpendapat bahwasannya sesuatu yang berasal dari Nabi adalah hadits. Sedangkan yang berasal dari selain Nabi disebut khabar. Para fuqaha Khurasan menyebut hadits mawquf dengan khabar dan hadits maqthu‘ dengan atsar .
Menurut arti bahasa khabar ialah berita . Jadi, khabar memiliki arti yang hampir sama dengan hadits, karena tahdits (pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar (pemberitaan). Secara terminologi khabar ada beberapa pendapat, di antaranya "hadits yang disandarkan pada sahabat", atau "segala berita yang diterima dari selain dari Nabi". Untuk terminologi khabar, peneliti lebih sepakat dengan definisi yang pertama - sebagaimana juga dikemukakan oleh ulama Khurasan- yaitu khabar ialah hadits yang disandarkan pada sahabat (mawquf). Hal ini dimaksud untuk memudahkan klasifikasi serta untuk membedakan antara khabar dengan hadits atau sunnah .
Secara etimologi atsar berarti bekas atau sisa. Sedangkan secara terminologi ada 2 pendapat; (1). Atsar sinonim dengan hadits (2). Atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat . Pendapat yang kedua ini mungkin berdasarkan arti etimologisnya. Dengan penjelasan, perkataan sahabat merupakan sisa dari sabda Nabi. Oleh karena itu, perkataan sahabat disebut dengan atsar merupakan hal yang wajar.
Dari paparan tentang definisi hadits, sunnah, khabar dan atsar di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan terminologi yang digunakan oleh muhadditsin terkait ruang lingkup dan sumber ke empat definisi tersebut. Hadits atau sunnah memberikan pengertian bahwa rawi mengutip hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw (marfu‘). Sedangkan khabar tidak hanya mencakup hadits marfu‘ saja tetapi juga mengakomodasi hadits mawquf (rawi hanya bersumber dari sahabat saja tidak sampai pada Rasulullah). Bahkan juga yang hanya berhenti sampai tingkatan tabi‘in (maqtu‘) saja. Sedangkan atsar oleh para muhadditsin lebih diidentikkan hanya pada hadits mawquf atau maqtu‘ saja .
Untuk memudahkan pengidentifikasian hadits, maka akan lebih mudah apabila istilah hadits, sunnah, khabar dan atsar dibedakan dalam pendefinisiannya. Hal ini dilakukan bukan untuk mendistorsi makna dari istilah tersebut, tetapi lebih dimaksudkan untuk memudahkan identifikasi. Selain itu, diharapkan akan lebih mempermudah dalam memahami struktur hadits. Sehingga menurut hemat peneliti, hadits dan sunnah dipergunakan adalah untuk hadits marfu‘, khabar untuk hadits mawquf, dan atsar untuk hadits maqthu‘.
B. Perbedaan antara Wahyu Al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi
1. Wahyu Al-Quran
Menurut etimologi, wahyu diderifasi dari akar kata awhaa-yuuhii-iiha-an yang artinya memberitahu sesuatu yang samar secara cepat. Adapun pengertian Al-Quran secara etimologi terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalam kitab Ulum Al-Quran wa al-Hadits disebutkan sedikitnya ada enam pendapat mengenai pengertian Al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu :
a. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Al-Quran merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun. Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
b. Menurut Imam al-Farra’ kata Al-Quran diderivasi dari kata benda qarain, bentuk jama’ dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Disebut dengan Al-Quran karena sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain sehingga seakan-akan ia menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
c. Imam al-Asy‘ari dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata Al-Quran diderivasi dari masdar qiran yang mempunyai arti bersamaan atau beriringan. Disebut dengan Al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya saling beriringan.
d. Imam al-Zajjaj berpendapat bahwa kata Al-Quran diderivasi kata benda qur-u yang mempunyai arti kumpulan. Menurut beliau dinamakan dengan Al-Quran karena mengumpulkan intisari beberapa kitab yang diturunkan sebelum Al-Quran.
e. Sebagian ulama mutaakhkhirin sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa Al-Quran berasal dari kata kerja qara'a yang mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun dengan dalil firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S al-Qiyamah: 17).
f. Menurut al-Lihyani, kata Al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh karena itu, kata Al-Quran merupakan bentuk masdar yang sinonim dengan kata qira'ah (pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang paling kuat).
Sedangkan Al-Quran secara terminologi adalah firman Allah yang berbahasa Arab, yang dapat melemahkan musuh (al-mu’jiz), diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawatur serta membacanya termasuk ibadah.
2. Hadits Qudsi
Pengertian hadits adalah sebagaimana penjelasan di atas. Sedangkan kata qudsi yang dinisbahkan kepada al-quds secara etimologi berarti kebersihan dan kesucian. Dengan demikian, hadits qudsi adalah hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha Suci, yaitu Allah swt. Secara terminologis pengertian hadits qudsi terdapat dua versi. (1) Hadits qudsi merupakan kalam Allah Swt (baik dalam substansi maupun struktur bahasanya), dan Nabi hanya sebagai orang yang menyampaikan. (2) Hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai قال الله تعالى.
Dalam hal ini peneliti lebih condong pada pengertian hadits qudsi yang kedua. Dengan alasan untuk membedakan antara Al-Quran dan hadits qudsi dalam proses terjadinya. Contoh hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
روى أبو هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، يقول الله تعالى أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه حين يذكرني فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وإن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير منهم (أخرجه البخاري ومسلم في صحيحيهما)
3. Hadits Nabawi
Menurut istilah hadits Nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun karakter beliau. Contoh hadits Nabawi yang berupa perkataan (qauli) adalah perkataan Nabi Muhammad saw:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (اخرجه البخارى ومسلم)
Contoh hadits yang berupa perbuatan (fi'li) ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِىُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ (أخرجه البخاري)
Contoh hadits berupa ketetapan (taqriri) ialah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ خَالَتَهُ أَهْدَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَمْنًا وَأَضُبًّا وَأَقِطًا فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَمِنَ الأَقِطِ وَتَرَكَ الأَضُبَّ تَقَذُّرًا وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَتِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولِ اللَّهِ (أخرجه ابو داود واحمد)
Contoh hadits berupa sifat atau karakter (wasfi) ialah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَبْعَةً لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلاَ بِالْقَصِيرِ حَسَنَ الْجِسْمِ أَسْمَرَ اللَّوْنِ وَكَانَ شَعْرُهُ لَيْسَ بِجَعْدٍ وَلاَ سَبْطٍ إِذَا مَشَى يَتَكَفَّ (أخرجه الترمذى)
Hadits Nabawi dilihat dari proses terjadinya dibagi menjadi dua . Pertama, Tauqifi, yaitu hadits yang kandungan maknanya diterima oleh Rasulullah saw dari wahyu, kemudian beliau menjelaskan kepada manusia dengan redaksi (susunan kata) beliau sendiri. Meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
Kedua, taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah saw menurut pemahamannya terhadap Al-Quran, karena beliau mempunyai tugas menjelaskan Al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan perenungan ijtihad beliau. Kesimpulan beliau yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu jika benar, dan bila terdapat kesalahan, turunlah wahyu yang membetulkannya. Dengan demikian berarti hadits Nabawi bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini, jelaslah bahwa hadits Nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya." (An-Najm: 3-4).
Dari uraian singkat di atas dapat kita ketahui beberapa perbedaan dari ketiganya.
a. Perbedaan antara Al-Quran dengan hadits qudsi adalah sebagai berikut :
1) Al-Quran secara struktur dan substansi bahasanya berasal dari Allah. Hadits qudsi redaksi bahasanya berasal dari Nabi sedangkan substansi isinya berasal dari Allah.
2) Redaksi yang digunakan oleh Nabi pada Al-Quran adalah Allah telah berfirman, sedangkan redaksi dalam hadits qudsi menggunakan kalimat; Allah telah meriwayatkan kepadaku.
3) Al-Quran merupakan ibadah jika dibaca, sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
4) Al-Quran merupakan mu'jizat sedangkan hadits qudsi tidak.
5) Al-Quran hanya diturunkan melalui perantara malaikat Jibril, sedangkan hadits qudsi bisa dengan melalui ilham maupun mimpi.
b. Perbedaan antara hadits qudsi dengan hadits nabawi yang paling pokok adalah bahwa hadits qudsi ada kaitannya dengan Allah (ada nisbat) meskipun hanya dalam aspek bahasanya. Hal ini berbeda dengan hadits nabawi yang mana substansi maupun bahasanya berasal dari Nabi. Meskipun demikian bukan berarti apa yang dikatakan oleh Nabi merupakan sesuatu yang berasal dari nafsu belaka, akan tetapi mempunyai pengertian hadits nabawi dalam proses terungkapkannya oleh nabi tidak harus menunggu wahyu dari Allah.
C. Hadits Ditinjau dari Aspek Kualitas
1. Unsur-unsur Hadits
Hadits bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa ada hal-hal yang berkaitan dengannya. Suatu hadits tidak terlepas dari beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Tanpa unsur-unsur tersebut, maka status dan validitas suatu hadits patut untuk dipertanyakan. Beberapa unsur yang menjadi pertimbangan untuk menilai keShahihan sebuah hadits itu ada tiga, yaitu matan, sanad, dan mukharrij.
a. Matan
Matan secara bahasa adalah penguat atau teks. Secara istilah adalah lafaz-lafaz yang menggambarkan makna hadits, bisa juga diartikan kalimat hadits yang mempunyai arti . Menurut Ibn Jama'ah adalah sebuah kalimat yang menjadi tujuan akhir daripada sanad . Lebih sederhananya, matan adalah bentuk redaksional sebuah hadits.
b. Sanad
Arti sanad secara etimologi adalah tempat bersandar . Adapun secara terminologi terdapat beberapa pendapat, di antaranya adalah:
1) Menurut al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi al-Maliki, sanad ialah jalur yang menghubungkan seseorang sampai kepada matan. Jalur ini tidak lain adalah para rawi yang mentransformasikan matan tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, sanad dan rawi mempunyai arti yang sama .
2) Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan sanad sebagai jalur matan. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jalur matan adalah silsilah para rawi yang mentransformasikan matan dari sumber utama. Dengan demikian, menurut dia bahwa terdapat perbedaan antara sanad dan rawi.
3) Sanad menurut al-Badr bin Jama'ah adalah memberitahu jalur menuju hadits. Karena sanad menurutnya diambil dari kata al-Sannad yang berarti sesuatu yang naik dari lembah gunung. Hal ini karena al-musnid menarik hadits sampai kepada orang yang mengucapkan hadits. Atau diambil dari ucapan fulanun sanadun (berpegangan) sehingga sanad mempunyai arti memberitahu proses menuju matan. Hal itu dikarenakan orang yang hafal hadits menjadikan sanad sebagai acuan dalam keShahihan dan keda‘ifan sebuah hadits.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terminologi sanad adalah jalannya hadits, maksudnya mata rantai (jalur) para rawi yang menghubungkan matan mulai dari awal hingga akhir. Secara etimologi isnad berarti menyandarkan. Adapun secara terminologi isnad didefinisikan dengan pemberitahuan dan penjelasan tentang jalur matan. Namun, terkadang kata isnad diartikan dengan sanad, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kata isnad dan sanad mempunyai arti yang sama.
Dalam ilmu hadits terdapat beberapa kata yang merupakan derivasi dari kata sanad di antaranya adalah :
1) Sanad, yang artinya proses menuju matan.
2) Musnad, yang artinya hadits yang sanadnya sampai pada Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini sanad mempunyai tiga arti; (1) hadits yang lalu. (2) buku hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad saw. (3) adalah sama dengan kata isnad dimana merupakan kata benda seperti Musnad al-Syihab, Musnad al-Firdaus atau yang lain.
3) Musnid, yang artinya orang yang meriwayatkan hadits dari jalurnya baik ia paham atau tidak.
4) Isnad, yang artinya menarik hadits sampai ke orang yang mengucapkan hadits.
c. Mukharrij
Mukharrij adalah orang yang menyebutkan rawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-Muhdith yang artinya orang yang mempunyai keahlian tentang proses perjalanan hadits serta mengetahui nama-nama rawi, redaksi, dan kelemahan hadits. Dalam hal ini ia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan al-Musnid. Orang yang sedang bergelut dengan hadits dapat digolongkan menjadi beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:
1) al-Thalib adalah orang yang sedang belajar hadits.
2) al-Muhaddits adalah orang yang mendalami dan menganalisis hadits dari segi riwayat dan dirayat.
3) al-Hafizh adalah orang yang hafal 100.000 hadits.
4) al-Hujjah adalah orang yang hafal 300.000 hadits.
5) al-Hakim adalah orang yang menguasai hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara keseluruhan baik ilmu maupun mustalah al-Hadits.
6) Amir al-hadits (pemimpin hadits)
Menurut Syaikh Fath al-Din bin Sa‘id al-Nas, al-muhaddis pada zaman sekarang adalah orang yang sibuk mempelajari hadits baik aspek riwayat maupun dirayat, kemudian mengkaji kualitas rawinya dengan mempelajari secara mendalam para rawi yang semasa dan populer dalam masalah hadits. Sehingga ia mampu mengetahui gurunya dan guru dari guru rawi sampai seterusnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh dibawah ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصاً (اخرجه احمد فى مسنده)
Sanad adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ
ِMatan adalah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا
Mukharrij adalah:
احمد
2. Pengertian, Pembagian dan Contoh Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah , dan terselamatkan dari syadz dan tidak ada cacat atau kekurangan .
Dari pengertian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kriteria hadits shahih adalah:
a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) artinya rawi pertama hingga rawi terakhir bersambung di dalam penerimaan haditsnya. Selain itu juga sesuai dengan metode yang ditetapkan oleh para ulama ahli hadits.
b. Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dlabith)
1) ‘Adil adalah adalah sifat yang yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
2) Dlabith adalah sifat terpercaya, hafal di luar kepala, mengetahui arti hadits, dan mampu untuk menceritakan setiap saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits.
Dlabith ada dua macam:
a) Dlabith shadri, yaitu benar-benar hafal dalam hatinya. Sehingga mampu mengingat dengan baik apa yang telah ia dengar dan mampu mengeluarkan ingatan tersebut kapan pun diperlukan.
b) Dlabith kitabi, yaitu rawi yang ingatannya berdasarkan catatan yang dibuatnya semenjak dia mendengar/menerima suatu hadits dan mampu menjaga tulisan tersebut dari kerusakan ataupun cacat.
c. Tidak ada unsur syadz yaitu tidak bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah atau rawi yang lebih banyak, dan tidak bisa dikumpulkan.
d. Tidak adanya ‘illat yaitu kecacatan yang dapat menghalangi sebuah hadits mencapai tingkatan sahih.
Hadits Shahih sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Shahih lidzatih adalah sebuah hadits yang telah memenuhi semua syarat hadits shahih dan tingkatan rawi berada pada tingkatan tertinggi.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ ص ع وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه البخارى)
b. Shahih lighayrih adalah hadits yang tidak menetapi persyaratan hadits shahih secara sempurna, misalnya, rawi kurang memiliki ingatan hafalan yang kuat sehingga digolongkan sebagai hadits hasan, namun karena didukung oleh hadits lain yang satu tema dan kualitasnya seimbang atau bahkan lebih tinggi maka hadits tersebut dinamakan shahih lighayrih. Contoh hadits ini adalah sebagai berikut:
Hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الترمذى)
Hadits ini termasuk kategori shahih lighayrih menurut Ibn Shalah, karena Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah orang yang lemah dalam hafalan dan kecerdasannya. Namun demikian, hadits di atas dikuatkan oleh jalur lain, yaitu oleh al-A'raj bin Hurmuz dan Sa'id al Maqbari maka bisa dikategorikan shahih lighayrih.
3. Pengertian, Pembagian dan Contoh Hadits Hasan
Dinamakan dengan hadits hasan karena ulama ahli hadits berbaik sangka terhadap rawinya . Orang pertama kali yang terkenal menggunakan terminologi ini adalah adalah Imam al-Tirmidzi. Hadits hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits yang sanadnya bersambung, tidak ditemukan adanya cacat dan juga syadz serta diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tingkat ketsiqahannya tidak sempurna.
Menurut Ibnu Taymiyah hadits hasan termasuk dalam kategori da'if. Karena beliau hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, shahih dan da'if. Kemudian hadits da'if dibagi menjadi dua; yakni yang bisa dijadikan hujjah dan yang tidak. Hadits hasan masuk dalam kategori hadits da'if yang dapat dijadikan hujjah.
Hadits hasan sendiri juga terbagi menjadi dua:
a. Hasan lidzatih
Dinamakan Hasan lidzatih karena sifat hasannya muncul secara independen tanpa melihat dukungan hadits jalur lain. Contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الترمذى)
Hadits ini bisa dinamakan hasan lidzatih dengan tanpa melihat jalur riwayat lainnya.
b. Hasan lighayrih
Dinamakan hasan lighayrih karena kehasanannya disebabkan oleh faktor lain (dari luar), artinya hadits ini sebenarnya adalah tergolong da'if karena salah satu syarat untuk bisa dikategorikan hadits hasan atau shahih tidak terpenuhi, namun dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid. Contoh hadits hasan lighayrih adalah:
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِىُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ (رواه الترمذى)
Hadits ini menurut al-Tirmidzi masuk dalam kategori hasan lighayrih dikarenakan Yazid bin Abi Ziyad termasuk golongan al-mudallis. Tetapi matan hadits dikuatkan oleh syahid yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id dll.
4. Pengertian, Pembagian dan Contoh Hadits Da’if
Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas ulama ahli hadits, hadits da'if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shahih dan hasan . Hadits da'if dapat diklasifikasikan menjadi dua:
a. Da'if disebabkan tidak memenuhi syarat ittishal al sanad.
Da'if jenis ini dibagi lagi menjadi:
1) Hadits Muallaq
Yaitu hadits yang dari awal sanadnya terdapat satu rawi atau lebih yang gugur atau dibuang, baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
َقَالَ بَهْزٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِىِّ ص ع قَالَ : اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ
Hadits di atas dikatakan muallaq karena Bukhari langsung menyebut Bahz bin Hakim, ayah Bahz (Hakim bin Muawiyah) dan kakeknya yaitu Muawiyah bin Haidah tanpa menyebutkan rawi sebelum Bahz. Padahal dalam hadits Abu Dawud, sebelum Bahz masih ada Abdullah bin Maslamah dan Ubay. Dalam jalur lain riwayat Abu Dawud, sebelum Bahz terdapat Ibnu Basyar dan Yahya.
2) Hadits Mursal
Yaitu hadits yang sanadnya dari tabi‘in langsung meloncat kepada Nabi, tanpa melalui sahabat. Maksudnya perawi kedua – baik tabi’in atau sahabat junior – langsung menisbatkan apa yang diucapkannya langsung kepada Nabi, tanpa menyebutkan dari perawi pertama terlebih dahulu, seakan-akan dia mengetahuinya langsung dari Nabi. Contoh:
حَدَّثَنِى يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ ثُمَّ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ (رواه مالك)
Menurut Al-Qabisy, hadits ini termasuk mursal karena Ibnu Abbas tidak ikut bepergian bersama Nabi. Saat itu dia tinggal di rumahnya bersama orang tuanya. Jadi dia tidak menyaksikan sendiri kisah perjalanan itu. Hal itu diketahui berdasarkan berita sahabat lain.
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hadith ini boleh dijadikan hujjah.
3) Hadits Munqati‘
Yaitu hadits yang salah satu rawinya atau lebih - bukan pada sahabat tapi sebelum sahabat – dihilangkan atau tidak jelas, bisa di tengah atau di akhir. Contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ عَنْ أُمِّهِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّه صلعم إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَقُولُ بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ. (رواه ابن ماجه)
Dalam hadits ini terdapat inqitha’ (kegururan) seorang rawi sanad sebelum Fatimah Zahra (putrid Rasul). Sebab Ibu dari Abdullah bin Hasan yaitu Fatimah binti Husain tidak pernah bertemu dengan Fatimah az-Zahra yang wafat sebulan setalah Rasulullah wafat.
4) Hadits Mu'dlal
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan di tengah sanadnya. Contohnya:
قَالَ مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ (رواه مالك فى الموطأ)
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha’nya meriwayatkan langsung dari Abu Hurairah, padahal Malik adalah seorang tabi’it-tabiin yang sudah barang tentu tidak mungkin bertemu dan mendengar dari Abu Hurairah.
5) Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi di atasnya. Definisi lain menyebutkan bahwa hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak bernoda (aib). Jadi, hadits mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacatnya, melalui sanad yang seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada. Kadang dengan cara menghilangkan rawi yang memiliki cela, atau dengan menggantinya dengan nama rawi yang lain.
Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam :
a) Tadlis isnad, adalah hadits yang disampaikan oleh seorang rawi dari orang yang semasa dengannya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadits tersebut langsung darinya . Apabila rawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/kefasikan.
b) Tadlis qat‘i, apabila rawi menggugurkan beberapa rawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya rawi mengatakan “telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-A‘mayh…” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-A‘masy secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadits seperti itu disebut juga dengan tadlis hadzf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong) .
c) Tadlis ‘athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “dan”), yaitu bila rawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadits dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadits tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d) Tadlis taswiyah, apabila rawi menggugurkan rawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadits shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e) Tadlis syuyukh; yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada rawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafalannya berkata kepadaku”.
f) Termasuk dalam golongan tadlis syuyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tempat). Contoh: Haddathana fulan fi Andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang rawi melakukan tadlis shuyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal, karena rawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadits darinya dan lain sebagainya.
b. Da'if karena hal lain diluar ittishal al-sanad.
Hadits da'if yang disebabkan faktor ini dibagi menjadi :
1) Hadits Maudlu‘
Adalah hadits kontroversial yang dibuat oleh seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih, hadits maudu‘ adalah khabar yang dibuat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi karena adanya kepentingan pribadi .
Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat dikatakan maudu' dapat dilihat pada sanadnya yaitu:
a) Rawi hadits terkenal sebagai pembohong.
b) Rawi merupakan rawi tunggal.
c) Rawi mengaku sendiri bahwa hadits itu adalah hadits maudu'.
d) Mengetahui sikap dan perilaku rawi.
Sedangkan tanda-tanda dari aspek matan antara lain:
a) Bertentangan dengan Al-Quran, sunnah mutawatir atau ijma’ dan logika yang sehat.
b) Tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Contoh hadits maudu' yang bertentangan dengan al-Quran adalah:
ولد الزنا لا يدخل الجنة الى سبعة ابناء
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat Al-Quran surat Al-An’am ayat 164.
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“….dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…”
2) Hadits Matruk
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang diduga suka berdusta. Contoh hadits ini adalah hadits tentang qada' al-hajat yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaybir ibn Sa'id al-Asdi dari Dahhak dari Ibn 'Abbas.
أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدالله بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح الأزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال عليكم باصطناع المعروف فإنه يمنع مصارع السوء وعليكم بصدقة السر فإنها تطفىء غضب الله (رواه ابن ابى الدنيا)
Menurut al-Nasa'i dan Daruqutni Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap haditsnya.
3) Hadits Munkar
Adalah hadits yang tidak diketahui matannya selain dari satu rawi dan rawi tersebut tidak memenuhi syarat bisa dikatakan seorang dlabith. Atau dengan pengertian lain, adalah hadits yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat dari rawi yang tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad, namun juga bisa terdapat pada matan .
4) Hadits Majhul
Hadits majhul dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Majhul al-‘ain yaitu hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta‘dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'id dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn Utbah ibn Abi Waqqas dari Sa-ib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلعم كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ (اخرجه ابو داود)
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn 'Utbah ibn Abi Waqqas tanpa diketahui jarh dan ta‘dilnya.
b) Majhul al-hal, yaitu diketahui lebih dari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta‘dilnya.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Qasim ibn WAlid dari Yazid ibn Madhkur.
وَأَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِى عَمْرٍو حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ قَالَ الشَّافِعِىُّ عَنْ رَجُلٍ عَنِ ابْنِ أَبِى ذِئْبٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ يَزِيدَ أُرَاهُ ابْنَ مَذْكُورٍ : أَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوطِيًّا. )اخرجه البيهقى(
Yazid ibn Madzkur dianggap majhul al-hal.
5) Hadits Mubham
Yaitu hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِىٍّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ الْعَسْقَلاَنِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ) اخرجه ابو داود(
6) Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriwayatkan seorang rawi yang tsiqah yang bertentangan dengan hadits lain yang periwayatannya lebih kuat .
Sebagian muhadditsin tidak saja membatasi hadits syadz hanya bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah (rajah) saja. Akan tetapi lebih luas dari itu, suatu hadits akan dinilai syadz jika bertentangan dengan dalil naqli yang lebih rajih, termasuk di dalamnya ayat Al-Quran. Penulis lebih menyukai pendapat yang terakhir, karena pendapat ini lebih bisa mengakomodasi Al-Quran sebagai salah satu instrument dalam mengecek ke-shahih-an sebuah hadits.
5. Kekuatan Hukum Hadits Shahih, Hasan dan Da’if
Derajat hadits hasan sama dengan hadits shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadits shahih. Oleh karena itu mayoritas fuqaha (ahli fiqh), muhadditsin dan ushuliyyin (ahli ushul) berpendapat bahwa hadits hasan tetap dapat dijadikan sebagai hujjah dan mengamalkannya. Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama al-mutasyaddidun (garis keras/ekstrim) yang menyatakan bahwa hadits hasan tidak ada dan tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama al-mutasahhilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibn Hibban, Ibn Khuzaymah dll, justru mancantumkan hadits hasan ke dalam jenis hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah walaupun tingkatannya di bawah hadits shahih .
Para ulama sepakat untuk menolak penggunaan hadits maudhu’ sebagai hujjah. Sedangkan untuk hadits da'if ulama berbeda pendapat yaitu :
a. Mutlak tidak bisa diamalkan baik yang terkait dengan hukum maupun fadlail al-a‘mal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hatim, Bukhari, Muslim, Abu Bakr ibn al-Arabi dan Muhammad Sa’id al-Asymawi.
b. Mutlak bisa diamalkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal .
c. Bisa diamalkan ketika terkait dengan fadlail al-a‘mal, nasihat dan sebagainya selain hukum. Ini pun harus dengan catatan apabila tidak sangat da'if dan harus bersamaan dengan riwayat pendukung .
6. Peran al-Tabi' dalam Analisis Kualitas Sanad
Al-Mutabi’ secara bahasa adalah bentuk isim fa’il dari fi’il madly تا بع yang berarti cocok atau mengikuti. Secara istilah definisi dari mutabi’ adalah sebuah hadits yang memilik persamaan pada periwayatannya dengan rawian hadits lain dalam segi makna dan redaksinya atau maknanya saja namun berasal dari sahabat yang sama. Dalam referensi lain definisi dari mutabi’ ialah persekutuan seorang rawi dengan rawi yang lain dalam meriwayatkan sebuah hadits dari gurunya/dari orang di atas gurunya.
Posisi mutabi’ sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa dapat dikategorikan sebagai hadits shahih maupun hadits hasan, maka ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama bisa kuat dan naik menjadi hadits shahih lighayrih atau hasan lighayrih. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi:
أَخْبَرَنَا مالك عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ عن عَبْدُ اللَّهِ ابْنَ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص ع قال : الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْ ا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فأكملوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ (رواه الشافعى فى مسنده).
Hadits ini dinilai gharib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafi’i dari Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah al-Qa‘nabi dengan jalur sanad yang sama.
7. Cara Mengukur Keshahihan Hadits
Sebenarnya di dalam mengkaji validitas sebuah hadits tidak akan terlepas dari dua hal utama: Pertama, shahih karena sanad, yakni bersambung, rawinya adil, dan dlabith. Kedua, shahih karena matan, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan tidak terdapat cacat (illat). Lebih jelasnya, aspek-aspek yang perlu diteliti guna mengukur kesahihan sebuah hadits adalah:
a. Sanad. Ini terkait dengan ittishal (kesinambungan) sanad. Masing-masing rawi yang terdapat dalam mata rantai hadits diteliti satu-persatu guna membuktikan ketersambungan tiap rawi dengan yang lainnya serta untuk menghindari kemungkinan adanya hadits yang ternyata tidak diterima secara langsung oleh rawi dari rawi sebelumnya.
b. Tsiqah al-rawi, yaitu mengidentifikasi kualitas moral maupun intelektual rawi yang terdapat dalam mata rantai sanad hadits tersebut. Tsiqah ar-Rawi memuat kajian tentang ‘adalah (keadilan) dan Dlabith rawi.
c. Matan (redaksi) yang di dalamnya menyangkut kajian tentang kandungan syudzudz dan ‘illat.
Berdasarkan ketiga parameter di atas, nantinya dapat ditentukan kualitas sebuah hadits. Penentuan apakah nanti termasuk golongan hadits sahih, hasan ataupun da'if didasarkan pada kriteria-kriteria yang telah kami uraikan sebelumnya dalam penjelasan mengenai hadits shahih, hasan dan da'if.
D. Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanad
1. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Mutawatir
Secara etimologi mutawatir berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun. Secara terminologi mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang secara logika dan adat kebiasaan tidak mungkin bersekongkol dan ebrsepakat untuk berbohong . Mulai dari rawi yang pertama hingga terakhir memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqah. Konsep ini secara definitif dikemukakan oleh al-Baghdadi, walupun jauh sebelumnya al-Syafi’i menyebutkan dengan istilah khabar 'ammah.
Ulama hadits berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi , sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah . Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang , ada yang dua puluh orang , ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang , ada yang tujuh puluh orang , dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
Kemudian menurut al-Suyuthi bahwa hadits yang layak disebut mutawatir yaitu paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang banyak diikuti oleh para muhadditsin.
Mungkin pendapat ini dipakai karena, pendapat ini adalah sebuah jalan tengah dari sekian banyak perbedaan yang ada. Jumlah minimal rawi sebanyak 4 dan 5 orang dianggap terlalu sedikit. Sedangkan jumlah 20 dan 40 dirasa terlalu banyak dan hanya akan menyebabkan keberadaan hadits ini menjadi mustahil karena terlalu banyaknya rawi yang harus meriwayatkannya.
Pada prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qat‘iy al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi). Dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau rijal (rawi hadits), bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun rawinya bukan muslim. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir .
Hadits mutawatir dibagi menjadi dua:
a. Mutawatir Lafzhi
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dengan satu bentuk redaksi yang sama. Pendapat lain mengatakan cukup dalam artinya saja yang sama . Contoh hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari dua ratus rawi. Menurut Ibn Hajar dalam sharh al-Bukhari hadits itu diriwayatkan lebih dari empat puluh sahabat, termasuk di antaranya sepuluh sahabat yang dijamin langsung masuk surga .
b. Mutawatir Ma'nawi
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadits ini adalah hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan oleh kurang lebih seratus rawi .
2. Pengertian, Pembagian dan Contoh Hadits Ahad
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah jalur rawinya tidak mencapai batasan minimal dari hadits mutawatir. Sebagian golongan seperti Rafidah dan Qadariyah, mengatakan hadits ini tidak bisa diamalkan. Hadits ahad sendiri dibagi menjadi tiga:
a. Masyhur
Masyhur secara bahasa berarti terkenal. Secara istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih, namun belum mencapai tingkatan mutawatir. Contoh hadits yang ditakhrih oleh Bukhari dan Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُولُ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه البخاري)
Hadits ini juga ditakhrij oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, Turmudzi dan Daruquthni dengan sanad yang berbeda-beda dalam kitab sunan mereka.
b. ‘Aziz
’Aziz artinya sedikit atau jarang. Hadits ’aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua perawi walaupun dalam satu thabaqat dan walaupun kemudian diriwayatkan oleh orang banyak. Contoh:
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ قَالَ : نَحْنُ الآخِرُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري)
Hadits ini diriwayatkan oleh dua jalur sahabat yakni Abu Hurairah dan Hudzaifah ibnul Yaman.
c. Gharib
Dari segi bahasa gharib adalah asing. Dalam istilah hadits gharib adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam rawian, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. Hadits gharib terbagi menjadi tiga:
1. Gharib dalam sanad dan matan. Contoh:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْوَلاَءِ ، وَعَنْ هِبَتِهِ (رواه البخاري)
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu al-Walid dari Syu’bah dari Abdullah bin Dinar dan Ibnu Umar. Sedangkan Muslim meriwayatkannya dari Yahya bin Yahya dari Sulaiman dari Abdullah bin Dinar dan Ibnu Umar.
2. Gharib dalam jalur sanad.
Hadits ini diriwayatkan oleh satu rawi dari seorang sahabat yang redaksinya berbeda dengan redaksi rawi-rawi lain dari sahabat lain.
3. Gharib dalam sebagian redaksinya. Contoh:
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص ع فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ (رواه الترمذى)
Imam Malik meriwayatkan matan hadits tersebut berbeda dengan rawian rawi-rawi lain, yaitu dengan menambah kalimat من المسلمين .
3. Peran al-Syahid dalam Analisis Kuantitas Sanad
Pengertian syahid adalah hadits yang riwayatnya diikuti rawi lain dari jalur sahabat yang berbeda, dengan matan yang menyerupai dalam segi lafaz dan maknanya ataupun hanya dari segi maknanya saja. Syahid ada dua yaitu: syahid lafzhi dan syahid ma‘nawy. Syahid lafzhi ialah syahid yang menguatkan dalam segi lafaz dan maknanya. Sedangkan syahid ma‘nawi hanya menguatkan dalam segi maknanya.
Syahid sangat diperlukan dalam proses penelitian hadits, untuk menguatkan posisi suatu hadits dalam segi kuantitasnya. Sebuah hadits yang pada mulanya gharib dapat naik tingkatnya menjadi aziz, masyhur atau bahkan mutawatir bila ada syahid. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Syafi’i dari Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi:
أَخْبَرَنَا مالك عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ عن عَبْدُ اللَّهِ ابْنَ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص ع قال : الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْ ا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فأكملوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ (رواه الشافعى)
Pada mulanya Imam Syafi’i dianggap sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini. Oleh karena itu hadits ini dikatakan gharib. Akan tetapi kemudian ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i dari Ibn Hunayn dari Ibn Abbas, maka keghariban hadits tersebut secara otomatis hilang.
4. Cara Mengukur Kemutawatiran Hadits
Sebuah hadits bisa di kategorikan mutawatir ataupun tidak adalah berdasarkan jumlah rawi pada tingkat sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadits mutawatir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah rawi di tingkat sahabat sebanyak sepuluh orang. Dengan demikian, apabila suatu hadits diriwayatkan kurang dari sepuluh sahabat, maka bukan termasuk kategori hadits mutawatir.
E. Tahammul wa Ada' al-Hadits
1. Pengertian Tahammul al-Hadits
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah pengambilan atau penerimaan hadits oleh seorang rawi dari orang lain (gurunya) dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini, terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi –seperti diungkapkan oleh al-Karmani – pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.
2. Syarat-syarat Tahammul al-Hadits
Mayoritas ulama ahli hadits menganggap boleh atau sah anak di bawah umur menerima riwayat hadits. Hal itu dikarenakan, bila kita amati lebih jauh tidak jarang sahabat atau tabi‘in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husain, Abdullah bin Zubayr, dan Ibn Abbas dll tanpa membedakan mana hadits yang diterima ketika masih kecil atau sesudah dewasa.
Hal senada juga diungkapkan oleh al-Hafiz Ibn Katsir dalam bukunya Ikhtisar Ulum al-Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahammul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada') setelah masuk Islam . Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus hadits adalah faktor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baligh .
3. Pengertian Ada' al-Hadits
Ada' secara etimologis berarti menyampaikan/melaksanakan. Adapun secara terminologis ada' al-hadits berarti sebuah proses penyampaian (rawian) hadits dari seorang kepada orang lain (muridnya).
4. Syarat-syarat Ada' al-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (dlabith), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqah) . Sifat adil dalam hubungannya dengan rawian hadits adalah suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Untuk mencapai tingkatan ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu Islam , baligh, berakal, dan taqwa . Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh rawi hadits – seperti diungkapkan al-Zanjani - lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna. Karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
5. Shighat Tahammul wa Ada' al-Hadits dan Implikasinya terhadap Persambungan Sanad
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaiannya kembali ada delapan macam yaitu:
a. Sima‘ (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima‘ mencakup imla' (pendiktean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi) . Menurut mayoritas ahli hadits sima‘ merupakan shighat riwayat yang paling tinggi. Lafazh-lafazh yang biasa digunakan adalah: سَمِعْتُ, حَدَّثَنَا , أَخْبَرَنِى , أَنْبَأَنِى, dan قَالَ لِى فلان.
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafaz سَمِعْتُ, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafaz حَدَّثَنَا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafazh tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mengajarkan hadits yang didengar secara langsung . Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafaz diatas menunjukkan sanad bersambung.
b. Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syaikh).
Qira’ah sendiri yang juga disebut al-ard‘ memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syaikh, baik hadits yang dihafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syaikh berada pada posisi mendengarkan. Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syaikh memang hafal hadits yang dibacakan kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel . Akan tetapi jika syaikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama di antaranya al-Juwayni menganggapnya sebagai bentuk sima‘ yang tidak benar .
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulama yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan sima' dalam menerima hadits antara lain al-Zuhri, Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Rawian dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil .
c. Ijazah.
Yang dimaksud ijazah adalah pemberian izin seorang guru kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tersebut tidak pernah membacakan atau mendengar langsung darinya. Ibn Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid‘ah . Sekalipun bentuk ini banyak dikritik oleh kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, peneliti lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits Nabawi . Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya pemalsuan dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
Ijazah hadits sendiri sebenarnya memiliki beberapa variabel. Menurut Qadi Iyadl terdapat delapan macam, dan menurut Ibn Salah ada tujuh macam . Namun peneliti tidak akan menjelaskan ke-semua variabel secara panjang lebar, melainkan peneliti mencukupkan diri dengan konsep dasar Ijazah sebagaimana yang telah peneliti terangkan di atas.
d. Munawalah,
Yaitu tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Siddiq Bashir Nasr dalam bukunya Dawabith al-Riwayah, munawalah terdapat dua bagian yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam:
1) Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan kepada mu”.
2) Mirip dengan munawalah yaitu ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepadaku”.
3) Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah haditsku, riwayatkanlah ia dariku” . Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan .
e. Mukatabah (menulis).
Mukatabah adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain, kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada di tempat lain. Mukatabah juga terdapat dua macam, yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah . Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كَتَبَ إِلَىَّ فلان .
f. al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari orang yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama hadits dan usul fiqh memperbolehkan bentuk ini sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya . Namun demikian, sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena tidak disertai dengan ijazah. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Ibn Shalah dalam bukunya al-Muqaddimah.
Namun ketika golongan kedua berasalan dengan tidak adanya izin sehingga hadits yang diriwayatkan dengan cara ini dianggap tidak sah, tentunya alasan ini juga harus mereka jadikan syarat dalam meriwayatkan hadits baik yang didengar langsung atau yang lainnya, yang nantinya berimplikasi pada banyak hadits yang diriwayatkan secara tidak sah. Karena kami yakin banyak sekali syaikh yang membacakan hadits pada muridnya tanpa disertai dengan penegasan (izin) agar hadits tersebut disampaikan ulang. Dalam hal ini al-Ramahurmuzi berpendapat “sekalipun syaikh melarang mereportasekan hadits darinya, namun larangan itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap menyampaikan hadits tersebut” .
g. Wasiyah
Wasiyah adalah penegasan syaikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya . Sejumlah ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara wasiyat . Wasiyat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seolah-olah syaikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang ia riwayatkan.
Namun demikian mereka mengakui bahwa riwayat dengan wasiyat termasuk lemah bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang menerima hadits dengan cara wasiyat ini ingin meriwayatkan kembali, maka harus sesuai dengan redaksi aslinya dan harus menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafaz حدثنا, karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Sedangkan alasan ulama yang tidak memperbolehkannya adalah karena menerima hadits dengan cara wasiyat ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah .
h. Wijadah
Wijadah adalah rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.
Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Ulama yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika si penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafaz وَجَدْتُ بخط فلان atau وَجَدْتُ فى كتاب فلان بخطه. Kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini apabila yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Sekalipun peneliti tidak menutup mata dari komentar orang-orang yang menolak metode wijadah, namun jika orang yang mewartakannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, peneliti lebih setuju pada pendapat yang mengesahkannya. Karena bagaimanapun juga metode ini pernah dilakukan pada masa-masa awal, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Keterbatasan ini menurut peneliti tidak lebih dari langkah untuk meminimalisir terjadinya distorsi dalam mewartakan nilai-nilai agama. Yang terpenting, rawi maupun data yang menjadi sumber primer harus kredibel .
F. Pengertian Hadits Mu'an'an dan Muannan dan Implikasinya Terhadap Persambungan Sanad
Hadits mu’an’an adalah hadits yang dalam proses pewartaannya hanya menyebutkan lafaz عَنْ فُلاَنٍ عَنْ فُلاَنٍ tanpa memberi penjelasan apakah hadits tersebut diperoleh dengan mendengar langsung atau yang lain . Kata عن bukan sengaja diletakkan oleh rawi yang namanya disebut sebelumnya, melainkan ia datang dari orang yang ada di bawahnya . Contoh Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ ، وَطُولُ الْعُمُرِ(رواه البخاري)
Kata ‘an dalam hadits ini merupakan perkataan Hisyam, bukan Qatadah. Karena ‘an berkesinambungan dengan حَدَّثَنَا. Dengan demikian, dalam kasus Hisyam di atas masih belum dapat dipastikan kata apa yang digunakan oleh Qatadah ketika meriwayatkan hadits dari Anas. Sehingga juga berakibat pada belum adanya kejelasan apakah sanad Qatadah dari Anas bersambung atau tidak .
Sementara terkait dengan mu'asyarah (seperiode) apakah ia bisa dijadikan sebagai salah satu metode untuk menetapkan bersambungnya sanad, masih menjadi perdebatan di kalangan ulama hadits. Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahih-nya mengatakan mu'asyarah saja sudah bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemuttasilan sanad, dengan catatan sanad tersebut tidak mengadung unsur tadlis, sekalipun tidak ada informasi lebih lanjut yang menjelaskan bahwa keduanya pernah bertemu. Imam Muslim tidak mensyaratkan adanya liqa’ dan sima', yang terpenting dalam pandangan beliau adalah ketsiqahan rawi yang menjadi perekam fakta kesejarahan hadits . Pendapat ini juga dikemukakan oleh mayoritas ulama hadits di antaranya al-Hakim. Sementara Al-Madini dan muridnya al-Bukhari mengharuskan adanya pertemuan dan berkumpul antara rawi, walaupun hal itu hanya terjadi sekali .
Abu Bakar al-Shayrafi menjelaskan lebih lanjut bahwa seorang rawi yang telah dikenal sebagai orang yang mendengar hadits dari seorang syaikh, bila kemudian ia meriwayatkan hadits dari syaikh tersebut, maka hadits yang diriwayatkan dianggap muttashil. Demikian juga orang yang diketahui bertemu dengan syaikh kemudian meriwayatkan darinya. Anggapan ini terus berlaku sampai ada kejelasan bahwa hadits yang diriwayatkannya mengandung unsur tadlis .
Bagaimanapun juga dalam uji ketersambungan sanad, hadits ini tidak terlepas dari kritikan para muhaddits lain. Syu’bah misalnya menyatakan hadits yang dirwayatkan dengan ‘an tidak pantas disebut sebagai hadits, melainkan ia adalah –seperti juga diungkapkan al-Nawawi– ucapan yang disepakati oleh ulama klasik untuk menolaknya.
Di antara orang yang menolak kemuttasilan sistem transmisi (sanad) hadits ini adalah al-Bayhaqi. Beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Qays sebagai sampel, yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk memastikan ketidak bersambungan serial mata rantainya . Yang demikian ini dikarenakan hadits tersebut mengandung kemungkinan besar bahwa orang yang menjadi tangga perantara tidak mendengar langsung dari gurunya, melainkan ia mendapatkannya dari orang lain yang sengaja tidak disebutkan dalam serial mata rantainya .
Penulis melihat pertentangan seputar hadits mu’an’an yang terjadi di kalangan para pendahulu kita hanyalah sebatas wacana pemikiran. Pendapat ulama yang kontra mu’an’an misalnya –menurut persepsi peneliti– sebenarnya merupakan langkah protektif untuk membendung eskalasi pemalsuan hadits. Sehingga mereka memilih sikap menolak segala bentuk hadits yang diriwayatkan dengan ‘an, karena pada tataran prosesnya ia dianggap tidak jelas.
Namun tidak demikian halnya dengan golongan yang setuju. Sekalipun dalam hadits ini terdapat beberapa kemungkinan tidak bersambungnya sanad, semisal tidak mendengar langsung, namun dengan adanya beberapa syarat yang dikemukakan oleh golongan kedua, maka kemungkinan-kemungkinan negatif itu akan segera hilang dengan sendirinya. Dari sini dapat dimengerti bahwa tidak semua hadits mu’an’an dapat diterima oleh golongan ini, melainkan yang bersumber dari orang-orang tertentu.
Sama halnya dengan mu’an’an adalah hadits muannan , yaitu hadits yang dalam pola penyampaiannya banyak menggunakan أنّ. Al-Barmawi menyatakan sebenarnya pertentangan seputar perkataan rawi أنّ فلانا قال/عن فلان أنه قال tidak perlu diperpajang, karena keduanya sama saja dengan rawi mengatakan قال فلان. Melainkan yang perlu kita cermati di sini adalah apabila rawi yang menjadi sumber primer hadits mengatakan إن فلانا قال/فعل كذا atau lafaz lain yang tidak menunjukkan adanya sima'.
Oleh karenanya, al-Hafizh Ibn Rajab memberikan jalan tengah. Menurut beliau perkataan rawi berupa إن فلانا قال/ فعل كذا dalam kemuttasilan sanad terdapat dua macam. Pertama, jika rawi memang mendengar atau menyaksikan langsung ucapan atau perbuatan yang diceritakan, maka ia sama dengan قال فلان/فعل فلان كذا, yang berarti serial mata rantainya bersambung. Kedua, kemungkinan kedua ini rawi tidak mendengar atau melihat sendiri, semisal masanya berbeda . Jika memang demikian, maka contoh yang disebut terakhir ini bisa dipastikan tidak muttasil.
G. Ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dil
1. Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dil
Menurut etimologi al-jarh berasal dari akar kata jaraha-yajrihu yang berarti luka. Secara terminologi al-jarh berarti karakter seorang rawi yang dapat mencacatkan sifat keadilan dan lemahya hafalannya yang berakibat cacatnya hadits yang ia riwayatkan. Men-jarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyebutkan sesuatu aib (sifat-sifat yang kurang positif) yang terdapat pada seorang rawi yang dapat menyebabkan hadits yang diriwayatkannya tertolak.
Al-‘adl dalam etimologi adalah lawan kata al-dzulm (zalim) yang berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan secara terminologi al-‘adl adalah suatu karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri seseorang. Dengan demikian, men-ta‘dil seorang rawi berarti pengakuan terhadap seorang rawi dengan memberikan sifat-sifat yang terpuji, sehingga hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi Ilmu Jarh wa Ta‘dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan rawi dari sisi diterima atau ditolak periwayatannya.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi rawi, yaitu: 1) Adil dalam arti muslim, berakal, baligh, bebas dari faktor-faktor yang menyebabkan kefasikan serta hancurnya harga diri – adil di sini yang terkait dengan dimensi moral. 2) Dlabith (kuat hafalan) yaitu hafal terhadap hadits yang ia riwayatkan, dan memahami makna yang terkandung –dlabith terkait dengan dimensi intelektual .
2. Kaidah Penerapan
Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para rawi hadits. Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode penelitian dari rawi hadits, yaitu :
a. Al-Amanah wa al-Nazahah; dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi juga kelebihan rawi seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Syrin “Saya telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
b. Al-Diqqah fi al-Bahts wa al-Hukm; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti keadaan rawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya hafalan.
c. Iltizam ‘ala al-Adab fi al-Jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta‘dil –dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika penelitian yang bersifat ilmiah yang shahih. Kritikan yang paling tajam kepada rawi hanya memakai ungkapan “Fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”. Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan ucapan “Ia adalah orang yang tidak jujur”.
d. Al-Ijmal fi al-Ta‘dil wa Tafhsil fi al-Tajrih; dalam artian ulama jarh wa ta‘dil selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, adil, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh rawi selalu terperinci seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain sebagainya.
Seseorang yang menjadi kritikus rawi haruslah mempunyai sifat-sifat alim, bertakwa, wara’, jujur, tidak memiliki aib, dan kritikan yang ditujukan pada rawi tidak berdasarkan pada fanatisme . Walaupun demikian, para ulama kritikus rawi kadang kala berbeda pendapat di dalam menilai seorang rawi. Sebagian mereka ada yang menganggap adil dan sebagian yang lain mengatakan tidak, Dalam hal ini ada tiga pendapat :
a. Mendahulukan jarh dari ta‘dil. Walaupun yang mengatakan adil itu lebih banyak daripada yang menganggap jarh, karena jarih melihat apa yang tidak dilihat oleh mu’addil. Ini adalah pendapat mayoritas ulama .
b. Mendahulukan ta‘dil dari jarh ketika mu’addil lebih banyak karena melihat pada sisi kuantitasnya. Pernyataan tersebut tertolak dikarenakan para mu’addil – sekalipun banyak – tidak akan mengungkapkan apa yang dinyatakan oleh para jarih.
c. Tidak diunggulkan salah satunya (mauquf) kecuali ada indikasi yang bisa membuat salah satunya menjadi unggul.
3. Sighat al-Ta‘dil dan Implikasinya Terhadap Eksistensi Hadits
Tingkatan lafaz-lafaz ta‘dil adalah sebagai berikut
a. Lafaz yang menunjukkan arti sangat tsiqahnya rawi (المبالغة في التوثيق). Ini merupakan tingkatan lafaz yang paling tinggi., sebagai contoh: لاأعرف له نظيرا في الدنيا ,هو أوثق الخلق dsb.
b. Lafaz yang ditegaskan dengan satu sifat atau lebih yang menunjukkan ketsiqahan rawi, semisal: ثقة ثقة, ثقة حافظ , ثقة مأمون.
c. Lafaz yang menunjukkan ketsiqahan rawi dengan tanpa adanya penegasan, semisal: ثقة, حجة, ثبت.
d. Lafaz yang menunjukkan ta‘dil dengan tanpa adanya verifikasi (dlabt), semisal: صدوق , لا بأس به (menurut selain Ibn Ma'in). Jika lafaz tersebut diucapkan oleh Ibn Ma'in, maka ia termasuk rawi yang tsiqah.
e. Lafaz yang tidak menunjukkan pernyataan tautsiq ataupun tajrih. Semisal: si fulan adalah seorang syaikh (فلان شيخ).
f. Lafaz yang lebih mengarah pada tajrih. Semisal: فلان صالح الحديث, يكتب حديثه
Catatan :
1) Tiga tingkatan yang pertama adalah lafaz-lafaz yang bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi sekalipun sebagian lafaz lebih kuat dari pada yang lain.
2) Adapun tingkatan yang ke-4 dan yang ke-5 tidak bisa dijadikan argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap ditulis dan diuji , sekalipun rawi pada tingkatan yang ke-5 berada dibawah tingkatan ke-4.
3) Sedangkan tingkatan yang ke-6 juga tidak bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi. Namun haditsnya tetap ditulis sebagai bentuk prestise semata dengan tanpa tes uji keshahihan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya standarisasi (kedlabithan) sebagai seorang rawi.
4. Sighat Al-Jarh dan Implikasinya Terhadap Eksisitensi Hadits
Tingkatan lafaz-lafaz jarh adalah sebagai berikut :
a. Lafaz yang menunjukkan kelemahan (تليين). Ini adalah tingkatan jarh yang teringan. Contoh: فلان لين الحديث, فى حديثه ضعف.
b. Lafaz yang diuraikan dengan tanpa dalih atau yang menyerupainya. Contoh: فلان واه, atau ضعفوه.
c. Lafaz yang diuraikan dengan tanpa adanya teks hadits yang telah ia riwayatkan atau yang semisalnya. Contohnya: فلان لا يكتب حديثه, hadits yang ia riwayatkan tidaklah benar.
d. Lafaz yang menunjukkan kecurigaan terhadap adanya kemungkinan kebohongan atau semisalnya pada diri si rawi. Contohnya: فلان متهم بالكذب (dia dicurigai telah melakukan kebohongan), يسرق الحديث dsb.
e. Lafaz yang menunjukkan rawi memiliki sifat pembohong atau semisalnya. Contoh: si fulan adalah orang yang banyak melakukan kebohongan.
f. Lafaz yang membesar-besarkan kebohongan dari rawi atau semisalnya. Ini adalah tingkatan jarh yang terburuk. Contohnya: فلان أكذب الناس
Catatan :
1) Pada rawi tingkatan yang pertama dan yang ke-2, hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah. Namun sebagai bentuk prestise, hadits yang diriwayatkan akan tetap dicatat sekalipun rawi pada tingkatan yang ke-2 lebih rendah dari pada yang pertama.
2) Sedangkan untuk 4 tingkatan terakhir (ke-3, 4, 5, dan 6), hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, tidak layak untuk dicatat ataupun dianggap, sebab ia ataupun selainnya tidak layak untuk menguatkan hadits yang diriwayatkan.
H. Kajian Syudzudz Dalam Analisis Matan Hadits
1. Pengertian Syudzudz dan Contohnya
Arti syudzudz (syadz) secara bahasa adalah aneh, langka, tidak wajar, jarang terjadi dan tidak pada tempatnya. Jadi, syudzudz dalam kajian hadits adalah suatu kejanggalan yang dapat menciderai derajat kualitas suatu hadits. Batasan suatu hadits dikatakan mengandung syadz masih menjadi perbedaan di antara para ulama. Namun inti dari syadz adalah “penyendirian dan perlawanan”. Misalnya hadits yang diriwayatkan seorang tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya, sehingga hadits tersebut dianggap mengandung kejanggalan. Dalam prakteknya, kajian syudzudz berpengaruh pada aspek penelitian sanad karena penentuan syudzudz adalah berdasarkan perbandingan kualitas antara dua orang rawi.
Kejanggalan (syadz) suatu hadits bisa terletak pada matan atau sanadnya. Contoh syadz yang terletak pada sanad adalah:
أَنَّ رَجُلاً مَاتَ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلاَّ غُلاَمًا لَهُ كَانَ أَعْتَقَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : هَلْ لَهُ أَحَدٌ؟ قَالُوا لاَ إِلاَّ غُلاَمًا لَهُ كَانَ أَعْتَقَهُ. فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ص ع مِيرَاثَهُ لَهُ
ابن عباس
عوسجه عوسجه
عمروبن دينار عمروبن دينار
حماد بن زيد ابن عيينه ابن جريح
التر مذى اصحاب السنن
Hadits yang diriwayatkan Al-Tirmidzi dengan jalur sanad Ibn Uyaynah dari Amr ibn Dinar dari Ausajah dari Ibn Abbas adalah hadits mahfuz, karena di samping diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah juga mempunyai tabi' yaitu melalui Ibn Juraij. Sedangkan jalur riwayat Ashab as-Sunan dari Hammad ibn Zayd dari Amr ibn Dinar dari Awsajah adalah hadits mursal karena tanpa melalui Ibn Abbas padahal Ausajah adalah seorang tabi'in. Hammad termasuk rawi yang tsiqah yang diterima (maqbul) periwayatannya. Namun karena bertentangan dengan periwayatam Ibn Uyaynah yang lebih unggul karena sanadnya muttasil dan juga terdapat muttabi', maka hadits yang melalui jalur sanad Ibn Uyaynah disebut hadits mahfuz. Sedangkan yang melalui jalur Hammad disebut hadits syadz .
Berikut contoh hadits yang mempunyai syudzudz pada matannya:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ كَانَ النَّبِىُّ صلعم إِذَا صَلَّى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الأَيْمَنِ
عائشة أبو هريرة
عروة ابن الزبير ابو صالح
ابو الاسواد الأ عمش
سعيد بن ابى ايوب ابو الواحد
عبد الله بن يزيد
البخارى أبو داود
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalur sanad Abu al-Wahid dari al A'masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dianggap mempunyai syudzudz setelah dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur sanad Abdullah Ibn Yazid dari Sa'id Ibn Ayyub dari Abul Aswad dari Urwah ibn az-Zubair dari Aisyah ra. Riwayat Bukhari dianggap lebih tsiqah karena diriwayatkan atas dasar fi'li (perbuatan Nabi), sehingga disebut hadits mahfuz. Sedangkan hadits yang diriwayakan oleh Abu Dawud lebih lemah karena atas dasar perkataan qauly (perkataan Nabi), ini disebut hadits syadz pada matannya .
Perbedaan-perbedaan diantara rawi hadits yang menjadi dasar munculnya syudzudz dalam sebuah hadits bisa di klasifikasikan sebagaimana berikut :
a. Berbeda dalam hal mawquf atau marfu‘nya sebuah hadits.
b. Berbeda dalam hal mawsul atau mursalnya sebuah hadits.
c. Berbeda dalam hal jelas atau samarnya salah satu rawi sebuah hadits.
d. Berbeda dalam jumlah jalur rawian sebuah hadits.
e. Berbeda dalam hal jenis tahammul dan ada' nya sebuah hadits .
f. Berbeda dalam menyebutkan nama guru.
g. Berbeda dalam tambahan yang terdapat dalam matan sebuah hadits .
h. Berbeda dalam tambahan yang terdapat dalam sanad sebuah hadits.
i. Berbeda dalam salah satu lafaz yang terdapat dalam matan sebuah hadits
j. Berbeda dalam hal siapa mukharrij dari sebuah hadits.
2. Cara Menentukan Syudzudz al-Hadits
Untuk menentukan ada atau tidaknya syudzudz dalam suatu hadits yaitu dengan cara mengkonfirmasikan matan hadits atau maknanya dengan ayat Al-Quran dan semua hadits yang satu tema atau hadits yang sama namun dari jalur lain untuk diperbandingkan dan dianalisis guna menetukan mana matan yang mahfudz dan mana matan yang syadz. Jadi, parameter yang dipergunakan dalam analisis syudzudz adalah dengan menggunakan dalil naql (al-Qur'an dan al-Hadith).
I. Kajian ‘Illat Dalam Analisis Matan Hadits
1. Pengetian ‘Illat dan Contohnya
‘Illat berarti yang berarti penyakit atau cacat. Menurut istilah ahli hadits illat adalah suatu cacat atau sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits padahal walaupun sacara dhahirnya tidak nampak ada kecacatan. Cacat yang tersembunyi tersebut dapat terjadi pada sanad, matan ataupun juga pada kedua-duanya. Dari ketiga faktor tersebut, aspek sanad yang paling banyak menjadi penyebab adanya cacat hadits. Ibn Hajar menyebut jenis hadits ini sebagai jenis hadits yang paling rumit dan hanya orang yang mendapatkan karunia pengetahuan yang luas dan mendalam dari Allah yang bisa memahaminya. Hal tersebut karena untuk menemukan ‘illat (cacat) yang terkandung dalam hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas dan ingatan yang kuat tentang sanad, matan, urutan dan derajat rawi hadits .
Secara khusus ilmu untuk mempelajari ‘illat ini adalah ilmu ‘ilal al-hadits yaitu ilmu yang meneliti sebab-sebab yang tersembunyi yang menodai atau membuat cacat suatu hadits. Seperti menyambung sanad yang sebenarnya munqati‘ (terputus hanya sampai tabi‘in), memarfu'kan hadits mawquf (hadits yang hanya sanadnya hanya sampai sahabat), menyisipkan satu hadits kepada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matan, dan lain sebagainya.
Ilmu ini terkenal sulit karena harus meneliti hadits itu muttasil atau tidak, yakni apakah setiap rawinya bertemu dan mendapatkan hadits langsung dari guru-gurunya atau tidak. Semua ini akan sulit jika dilakukan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan yang mencukupi tentang biografi para rawi, jalur sanad-sanad lain yang dijadikan bahan perbandingan atau tidak mempunyai banyak hafalan tentang matan. Beberapa ulama yang terkenal ahli dalam ilmu ini adalah Ibn al-Madini, Ahmad, al-Bukhari, Ya’qub bin Abu Syaibah, Abu Hatim, Abu Zur‘ah, al-Tirmidzi, dan al-Daruqutni.
Illat hadits sendiri dengan melihat tempatnya bisa ditemukan pada sanad, matan, atau pada keduanya.
a. ‘Illat pada sanad, tidak hanya cacat pada sanadnya juga bisa merembet pada matannya. ‘Illat pada sanad yang berpengaruh terhadap sanad saja, bisa diketahui bila dibandingkan dengan hadits yang sama dengan jalur riwayat lain dan sanad yang Shahih, seperti:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
إبن عمر
عبد الله بن دينار عمرو بن دينار
سفيان الثوري
مخلد بن يزيد محمد بن يوسف أبو نعيم يعلى بن عبيد
Jika hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’la bin ‘Ubayd dari Sufyan al-Thawri dari ‘Amr bin bin Dinar dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah saw, maka sanad hadits ini dianggap mempunyai‘illat (cacat) karena menyandarkan periwayatannya kepada ‘Amr bin Dinar (padahal sebenarnya disandarkan pada Abdullah bin Dinar), sekalipun sanadnya muttasil dan rawinya tsiqah.
Hal ini diketahui ketika sanad hadits di atas dibandingkan dengan jalur sanad yang lain yaitu; diriwayatkan oleh Abu Nu’aym, Muhammad bin Yusuf dan Mahlad bin Yazid dari Sufyan al-Thawri dari Abdullah bin Dinar dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah saw. Sekalipun sanad Ya‘la ber‘illat, namun matannya shahih karena sama dengan matan hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi yang lain.
Sedangkan contoh ‘illat pada sanad yang membuat cacat pada sanad sekaligus pada matan adalah seperti:
مَنْ جَلَسَ فِى مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِى مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
عوف بن عبد الله أبو هريرة
سهيل بن أبي صالح أبيه (أبو صالح)
وهيب سهيل بن أبي صالح
موسى بن إسمعيل
البخاري موسى بن عقبة
Al-Hakim al-Naysaburi menceritakan bahwa Imam Muslim pernah menanyakan kepada Imam Bukhari tentang; hadits Musa bin ‘Uqbah yang melalui jalur sanad Suhayl bin Abi Shalih dari ayahnya (Abu Suhayl) dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad saw, lalu Imam Bukhari menjawab bahwa hadits tersebut adalah baik dan beliau menyatakan belum pernah mengetahui hadits sebaik ini dalam masalah kaffarah al-majlis, hanya saja hadits itu memiliki ‘illat. Hadits tersebut bukanlah hadits marfu‘ sebagaimana dikatakan oleh Musa bin ‘Uqbah, tetapi adalah hadits mawquf karena hadits tersebut adalah perkataan ‘Awf bin Abdullah. Namun demikian hadits itu masih lebih baik dari hadits yang diriwayatkan oleh Musa bin ‘Uqbah, karena di dalamnya tidak disebut adanya Musa bin ‘Uqbah mendengar dari Suhayl.
b. ‘Illat pada matan, tidak sebanyak ‘illat pada sanad. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Tuhman.
وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Apabila seseorang dari kamu bangun dari tidur, cucilah kedua telapak tangannya 3 kali sebelum dimasukkannya ke tempat air wudu’. Sebab ia tidak mengetahui ke mana tangannya semalam.”
ثم ليغترف بيمينه من إناءه ليصب على شماله مقعدته
Kemudian hendaklah menciduk dengan tangan kanannya untuk dituang ke tangan kirinya, sesudah itu lalu cucilah pantatnya
أبو هريرة
سعيد بن المسيب الأعراج أبيه محمد بن سيرين
الزهري أبو الزناد سهيل بن أبي صالح هشام بن حسان
الأوزاعي مالك
الوليد عبد الله بن يوسف
الترمذي البخاري إبراهيم بن طهمان
Hadits Ibrahim bin Thuhman yang melalui jalur sanad Hisyam bin Hisan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah ra dan yang bersanad Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya (Abu Shalih) dari Abu Hurairah ra dianggap mempunyai 'illat pada matannya. Sebab menurut Abu Hatim al-Razi, kalimat “ثم ليغترف بيمينه …” sampai akhir adalah perkataan Ibrahim sendiri. Ia menyambung perkataan itu pada akhir matan hadits sehingga orang-orang tidak bisa membedakan apakah itu termasuk matan hadits sebenarnya ataukah tambahan darinya. Hal ini diketahui setelah dibandingkan dengan matan hadits riwayat Bukhari dan Tirmidzi seperti di atas.
Perkataan seorang rawi yang disisipkan pada suatu matan hadits disebut idraj. Apabila rawi menjelaskan bahwa sisipan atau tambahan itu adalah untuk menjelaskan matan hadits, maka tidak termasuk ‘illat. Namun bila dimaksudkan sebagai matan, maka idraj tersebut termasuk ‘illat.
c. ‘Illat pada sanad dan matan, contohnya:
Hadits yang diriwayatkan oleh Baqiyyah bin al-Walid
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari suatu salat maka berarti ia mendapatkan salat itu dengan sempurna مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ
Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari salat Jumu‘ah maka berarti ia mendapatkan salat itu dengan sempurna.
أبو هريرة إبن عمر
أبو سلمة سالم
الزهري الزهري
مالك يونس يونس
عبدالله يحيى بن يحيى إبن وهب
حرملة بن يحيى
البخاري مسلم بقية بن الوليد
Menurut Abu Hatim al-Razi, di dalam jalur sanad Baqiyyah bin al-Walid terdapat kekeliruan, ia mengatakan bahwa az-Zuhri menerima hadits dari Salim dari Ibn Umar. Padahal sebenarnya az-Zuhri menerima dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Hal ini diketahui setelah diadakan perbandingan dengan sanad-sanad yang lain seperti di atas.
Di samping mempunyai ‘illat pada sanadnya matan hadits Baqiyyah juga ber‘illat yaitu dengan adanya sisipan kata al-Jumu‘ah yang tidak ada pada matan dari sanad yang lain. Sehingga hadits tersebut tidak shahih karena sanad dan matannya ma’lul (ber‘illat).
Macam-macam ‘Illat bila dilihat dari jenisnya bisa di bagi menjadi :
a. Memuttasil kan sanad hadits munqati‘
b. Memarfu’kan hadits mursal
c. Mengsyadzkan hadits yang mahfuz (keadaan hadits yang diriwayatkan dari seorang sahabat yang sudah tertentu)
d. Mewahmkan (menduga shahih) sanad hadits yang mahfuz
e. Meriwayatkan secara ‘an‘anah suatu hadits yang sanadnya telah digugurkan baik seorang atau beberapa orang, hal ini bisa dilakukan setelah diadakan perbandingan dengan hadits mahfuz
f. Adanya ketidaksamaan sanad dengan pengisnadan rawi lain yang lebih tsiqah
g. Mentadlis-shuyukhkan hadits yang mahfuz (menyamarkan nama guru atau nama guru tidak sama dengan rawi lain yang lebih tsiqah)
h. Mentadlis-isnadkan hadits yang mahfuz (meriwayatkan suatu hadits yang tidak pernah didengar dari gurunya)
i. Mengisnadkan secara wahm hadits yang sudah musnad (keadaan hadits sebenarnya telah mempunyai sanad tertentu, namun salah seorang rawinya meriwayatkannya dari sanad lain di luar sanad yang sudah tertentu berdasarkan dugaan (wahm).
j. Memawquf kan hadits marfu‘.
2. Cara Mengetahui ‘Illat dalam Matan Hadits
Cara yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu hadits mengandung unsur ‘illat atau tidak adalah dengan cara mengumpulkan jalur-jalur hadits dan meneliti perbedaan rawinya, kekuatan ingatan dan kepintaran mereka (dabit). Parameter yang dipergunakan dalam analisis illat adalah dengan mengkonfirmasikan matan hadits atau maknanya dengan dalil aqli (rasio), ilmu pengetahuan, panca indera dan fakta sejarah. Apabila teks matan atau maknanya kontradiksi dengan semua itu, maka matan hadits dapat dinyatakan tidak shahih atau da'if.
J. Kajian Ilmu Ma`anil Hadits
Ilmu ma’anil hadits adalah disiplin ilmu-ilmu hadits yang terkait dengan objek kajian matan hadits, yang sudah diaplikasikan para ulama’ dulu dalam ilmu gharibul hadits, nasikh mansukh, mukhataliful hadits, tarikhul mutun, asbabul wurud dan sebagainya . Dilihat dari segi objek kajiannya, ilmu Ma’anil hadits memliki dua objek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah bidang penyelildikan sebuah ilmu yang bersangkutan. Dalam perspektif filsafat ilmu, objek material yang sama dapat di pelajari oleh pelbagai ilmu pengetahuan yang berbeda, dimana masing-masing memandang objek itu dari sudut yang berlainan. Misalnya objek Materialnya adalah manusia. Ilmu psikologi akan melilhat dari sisi perilaku dan sikapnya, sedangkan ilmu sosiologi akan melihatnya dari sisi hubungan dan interaksi sosial yang terjadi pada manusia tersebut.
Dengan demikian, objek material ilmu ma’anil hadits adalah hadits nabi saw. Mengingat ilmu ma’anil hadits merupakan cabang ilmu hadits. Sedangkan objek formalnya adalah objek yang yang menjadi sudut pandang dari mana sebuah ilmu memandang objek material tersebut. Karena ilmu ma’anil hadits berkaiatan dengan persoalan makna (meaning) dan interpretasi sebuah teks hadits, maka objek formalnya adalah matan atau redaksi hadits itu sendiri di lihat dari segi bagaimana maksud atau pengertian redaksi tersebut.
K. Kajian Ilmu Ghoriibil Hadits
1. Pengertian Ilmu Ghoriibil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
2. Pembagian Ilmu Ghoriibil Hadits
Ilmu ghoriibil hadits ini dibagi menjadi 3 bagaian, yaitu seperti yang di bawah ini:
a Ghoriib as-Shahih, contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
حدثنا أبو العباس محمد بن يعقوب قال حدثنا أحمد بن عبد الجبار قال حدثنا يونس بن بكير عن عبد الواحد بن أيمن المخزومي قال حدثني أيمن قال سمعت جابر بن عبد الله يقول كنا يوم الخندق نحفر الخندق فعرضت فيه كذانة وهي الجبل فقلت يا رسول الله كذانة قد عرضت فيه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم رشوا عليها ثم قام النبي صلى الله عليه و سلم فأتاها وبطنه معصوب بحجر من الجوع
b Ghoriib as – Syuyukh
حدثناه أبو العباس محمد بن يعقوب قال حدثنا الربيع بن سليمان قال أخبرنا الشافعي قال أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا بيع حاضر لباد
c Ghoriib al- Mutun
حدثنا أبو محمد عبد الله بن محمد بن إسحاق الخزاعي بمكة قال حدثنا أبو يحيى بن أبي مسرة قال حدثنا خلاد بن يحيى قال حدثنا أبو عقيل عن محمد بن سوقة عن محمد بن المنكدر عن جابر قال قال رسول الله إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ولا تبغض إلى نفسك عبادة الله فإن المنبت لا أرضا قطع ولا ظهرا أبقى
L. Kajian Ilmu Asbabi Wurudil Hadits dan Pengertiannya
1. Pengertian Ilmu Asbabi al-Wurud Hadits
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Ilmu Tawarikhul mutun adalah seimbang dengan ilmu tawarikhil Nuzul, yaitu;
علم يعرف به تاريح ورودالحديث الشريف
“ilmu yang dengan dia diketahui sejarah datang hadits yang mulia (nabi menyabdakan haditsnya)”
Ilmu tawarikhul mutun ini adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah matan hadits. Termasuk dalam konteks ilmu Tawarikhul Mutun sebenarnya perlu dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyah, sebagaimana dalam kajian Ulumul Qur’an. Sebab boleh jadi masing-masing redaksi akan memiliki kekhasan redaksional maupun isi kandungannya. Hal ini akan membantu mencari mana hadits yang nasikh dan mana mansukh. Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyah dan madaniyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syari’at islam.
Ada beberapa jalan untuk mengetahui Tarikh Wurudil Hadits, diantaranya:
2. Dengan terdapat perkataan : اول ما كان كذا “permulaan yang terjadi, adalah begini,”. Hadits yang diberitakan ‘aisyah yaitu:
حَدَّثَنَا ابْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ ( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ * خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ )
“Permulaan wahyu, yang dengan wahyu itu dimulaikannya kepada rasulullah SAW adalah mimpi benar”.
Diantara kitab-kitab hadits yang menerangkan apa yang mulamula dilakukan nabi, atau diperintah nabi ialah : Ibnu Abi Syaibah. Didalam musnafnya dikhususkan satu bab dalam hal ini.
3. Dengan disebut lafadh “Qablu’ : sebelum, seperti hadits jabir, yaitu:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِى عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِى أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ مُجَاهِدِ بْنِ جَبْرٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ نَهَانَا عَنْ أَنْ نَسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةَ أَوْ نَسْتَقْبِلَهَا بِفُرُوجِنِا إِذَا أَهْرَقْنَا الْمَاءَ - قَالَ - ثُمَّ رَأَيْتُهُ قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍ يَبُولُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ. تحفة 2574 معتلى
“ Adalah rasulullah SAW mencegah kami membelakangi kiblat, atau menghadapinya dengan kemaluan-kemaluan apabila kami membuang air. Kemudian aku melihat nabi, setahun sebelum beliau wafat, menghadapinya”.
4. Dengan terdapat perkataan ba’du = kemudian, sesudah, seperti hadits.
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ دَاوُدَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَامِرٍ عَنْ أَبِى زُرْعَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ جَرِيرٍ أَنَّ جَرِيرًا بَالَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أَمْسَحَ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ قَالُوا إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ. قَالَ مَا أَسْلَمْتُ إِلاَّ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ.
“Sesungguhnya jabir telah melihat nabi SAW mengusap atas khufnya. Maka seorang bertanya: apakah sebelum turun surah al-maidah, ataukah sesudahnya? Maka jabir menjawab : aku tiada memeluk agama islam melainkan sesudah turun surah al-maidah”.
5. Dengan perkataan :” akhirul Amraini” = yang terakhir dari dua urusan, seperti hadits Jabir Ibn Abdullah :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ أَبُو عِمْرَانَ الرَّمْلِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِى حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ هَذَا اخْتِصَارٌ مِنَ الْحَدِيثِ الأَوَّلِ.
“ Adalah yang terakhir dari dua urusan rasulullah, ialah tidak berwudhu, karena memakan daging yang disentuh api”.
e) dengan terdapat kalimat “bi syahrin” = dengan sebulan, seperti hadits Abdullah Ibn ukaeim :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنِ الأَعْمَشِ وَالشَّيْبَانِىِّ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ قَالَ أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنْ لاَ تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلاَ عَصَبٍ »
“ telah datang kepada kami kitab rasulullah sebelum wafatnya dengan dua bulan, yaitu : janganlah kamu mengambil manfaat dari bangkai, baik kulitnya, maupun uratnya.
6. Dan dengan terdapat kalimat tahun seperti hadits buraidah yang diriwayatkan oleh muslim, yaitu :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ ح وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الصَّلَوَاتِ يَوْمَ الْفَتْحِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ صَنَعْتَ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَصْنَعُهُ
“Adalah rasulullah SAW berwudhu buat tiap-tiap shalat. Maka pada tahun pengalahan mekah, beliau bershalat beberapa shalat dengan satu kali wudhu” .
Ilmu tawarikhul mutun juga berfungsi menganalisis sebuah perkembangan makna kata dalam hadits, sehingga kita memperoleh informasi secara akurat bahwa suatu kata pada kurun waktu itu memiliki makna tertentu, sedangkan pada kurun waktu yang lain memiliki makna yang lain. Sebagai contoh hadits yang berbunyi:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ.
Artinya:
“Sulaiman bercerita kepada kami, ismail memberi kabar kepada kami, Abbullah ibn said ibn abi hind memberi kabar kepada saya, dari ayahnya, dari ibn Abbas bahwa nabi Saw. Bersabda: “Barangsiapa yang di kehendaki Allah menjadi orang baik maka ia akan di pahamkan mengenai masalah agama.
Hadits tersebut oleh sebagian orang hannya di pahami secara fiqh oriented, sehingga paham agama hanya berarti paham ilmu fikih, sebab dalam hadits tersebut ada kata yafaqqihhu fil al-din. Padahal agama tidak hannya persoalan fikih. Dahulu kata fikih maknanya lebih luas termasuk persoalan akidah. Namun kata ‘fiqh’ menjadi menyempit maknanya setelah berkembangnya ilmu fikih yang seolah hannya mengurus hukum halal haram, makruh sunnah, yang terkesan ‘hitam putih’ dalam melihat persoalan.
M. Kajian Ilmu Fiqh Al-Hadits
Kata fiqh (فقه), yang secara bahasa berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya”. Kata fiqh sudah menjadi istilah yang ekslusif dipakai untuk menunjukan salah satu disiplin ilmu keislaman. Karena itu, dapat dilihat batasannya sebagai “ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diistimbatkan dari dalil-dalilnya yang terperinci”. Tetapi kata fiqh yang dimaksudkan di sini, adalah kata fiqh dalam makna dasarnya, yaitu faham.
Kata ini sebanding dengan kata fahm (فهم) yang juga bermakna memahami. Tetapi kata yang lebih populer dipakai untuk menunjukan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan atau cabang ilmu agama tertentu adalah fiqh. Hal ini wajar, karena meskipun kedua kata ini sama-sama bermakna memahami, namun kata fiqh lebih menunjukan kepada makna “memahami secara dalam” sehingga seperti kata al-Raghib al-Asfahani fiqh adalah pemahaman yang sampai pada sesuatu yang abstrak (علم غائب) . Itu pula sebabnya, Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik dari kata fahm, karena fiqh memahami maksud yang diinginkan pembicara. Jadi fiqh merupakan kemampuan lebih dari sekedar memahami pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan.
Dengan demikian, maka fiqh al-hadits dapat dikatakan sebagai salah satu aspek ilmu hadits yang mempelajari dan berupaya memahami redaksi (matan) hadits-hadits Nabi dengan komprehensip dan holistik. Dimaksudkan dengan komprehensip dan holistik adalah mampu menyelami dan menangkap pesan-pesan keagamaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Nabi SAW (al-murad min-as-syari`).
Pesan-pesan keagamaan tersebut terutama sekali yang tersirat baru dapat ditangkap bila dilakukan dengan usaha penggalian makna dan dilalah. Karena itu, mengetahui makna lahir redaksi hadits, belum tentu dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang diinginkan oleh Rasulullah saw. Sebagai contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ وَاصِلٍ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْعَابِدُ الْكُوفِىُّ حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ النُّعْمَانِ اللَّيْثِىُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مِسْكِينًا وَأَمِتْنِى مِسْكِينًا وَاحْشُرْنِى فِى زُمْرَةِ الْمَسَاكِينِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا يَا عَائِشَةُ لاَ تَرُدِّى الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ أَحِبِّى الْمَسَاكِينَ وَقَرِّبِيهِمْ فَإِنَّ اللَّهَ يُقَرِّبُكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ.
Dari Anas bahwa Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan himpunlah aku pada hari kiamat nanti bersama orang-orang miskin.
Bila membaca lahir teks do’a Nabi ini, maka Nabi terkesan Nabi sesungguhnya mengajarkan kepada umatnya agar hidup dalam kekurangan harta kekayaan. Tetapi apakah benar itu yang dimaksudkan oleh Nabi? Tampaknya, yang dimaksudkan oleh Nabi bukanlah kemiskinan dalam arti kekurangan harta. Sebab bila ini yang dimaksudkan oleh Nabi, maka kita akan sulit memahaminya, karena akan bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang lainnya yang meminta perlindungan kepada Allah dari kufur dan fakir, atau peringatan Nabi bahwa lebih baik meninggalkan anak-anak cucu dalam keadaan berkecukupan dari pada meminta-minta kepada orang lain, serta hadits-hadits yang memuji orang kaya yang takwa. Di sisi lain, pemahaman yang hanya terbatas pada makna lahir redaksi hadits, terkadang menimbulkan kekeliruan dan kerancuan. Berikut ini beberapa contoh hadits:
حدثنا عبد الله بن يوسف حدثنا عبد الله بن سالم الحمصي حدثنا محمد ابن زياد الألهاني عن أبي أمامة الباهلي قال : ورأى سكة وشيئا من آلة الحرث فقال سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( لا يدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذل )
Tidaklah benda seperti ini (alat pertanian) masuk ke rumah suatu kaum, melainkan Allah akan memasukan kehinaan kepadanya.
Jelas sekali bahwa makna lahir redaksi teks hadits mencela pekerjaan bertani dan bercocok tanam, sehingga bagi pelakunya dinyatakan akan diberi kehinaan. Tetapi, tidakkah kita terjebak dalam kekeliruan bila makna yang ditangkap dari hadits ini adalah tercelanya pekerjaan bertani dan bercocok tanam?
Jelas sekali bila makna lahir tersebut yang ditangkap, maka akan menimbulkan kerancuan-kerancuan. Pertama, ada beberapa hadits Nabi yang memuji pekerjaan bertani atau bercocok tanam:
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو عوانة ( ح ) وحدثني عبد الرحمن بن المبارك حدثنا أبو عوانة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة )
Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman kemudian dimakan oleh orang, atau binatang maupun oleh burung melainkan (apa yang dimakannya) itu menjadi sedekah. Dan juga sabda Nabi SAW.
حدثني أبو الوليد ومحمد بن الفضل قالا ثنا حماد بن سلمة ثنا هشام بن زيد عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إن قامت الساعة وفي يد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا يقوم حتى يغرسها فليغرسها
Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Nabi saw bersabda: Jika kiamat tiba, sedang ditanganmu terdapat setangkai benih, bila kau mampu menanamnya, maka tanamlah ia.
Kedua, sejarah membuktikan bahwa orang-orang Anshar karena kesuburan tanahnya kebanyakan mereka memiliki mata pencaharian bertani. Nabi tidak melarang mereka bertani, bahkan al-Qur’an memberi legalitas dengan pekerjaan pertania dengan mewajibkan membayar zakat sebesar 10% bagi tanaman biji-bijian yang mengenyangkan yang tumbuh dari siraman air hujan, dan 5% bagi tanaman yang diari.
Pesan-pesan Nabi yang terkandung dalam redaksi-redaksi hadits, tidak saja harus digali dan dirumuskan sebagai sesuatu ajaran praktis, tetapi juga lebih jauh dari itu adalah tuntutan penyesuaian dan pengembangan pesan-pesan Nabi dalam lingkup yang lebih luas adalah hal yang paling mendesak. Hal ini mengingat rentang waktu yang jauh antara dunia Nabi dengan dunia kini dapat membuat hadits-hadits Nabi menjadi tidak lagi relevan. Sementara di sisi lain, perkembangan kehidupan dan perilaku umat juga semakin berkembang dan kompleks.
Usaha penggalian, pemahaman, dan perumusan ajaran Islam dari hadits-hadits Nabi, di kalangan ahli hadits, disebut juga dengan istilah fiqh al-hadits atau syarh al-hadits. Hasil-hasil penggalian dan penjelasan terhadap hadits-hadits ini ditulis dalam kitab-kitab syarh oleh para ulama Dalam kerangka teoritis ilmu hadits, pemahaman terhadap hadits-hadits Nabi baru dilakukan setelah hadits-hadits yang diperoleh berada dalam kategori maqbul (diterima validitasnya sebagai riwayat yang bersumber dari hadits-hadits Nabi).
0 Komentar