I. Pendahuluan
Kenyataan menunjukkan bahwa Hadits yang menjadi sumber kedua dalam islam setelah Al- Quran, telah terhimpun dalam bebagi kitab Hadits. Tetapi antar kitab yang satu dengan lainnya berbeda- beda sitem penyusunannya. Disamping itu, Hadits – hadits Nabi SAW. juga terdapat dalam kitab – kitab non-kitab non-Hadits, seperti kitab –kitab tafsir, fikih sirah, dan sebagainya.
Untuk mengetahui kuat lemahnya (nilai) suatu hadits, antara lain diperlukan pengetahuan secara lengkap terhadap Hadits tersebut, baik dari segi matan maupun sanadnya. Dan untuk mengetahuinya perlu dilacak lewat sumber-sumbernya yang asli (sumber primer).
Para ulama telah menyusun berbagai macam kitab petunjuk untuk melacak/mencari Hadits dalam sumber-sumber primer, ada yang bernama “Athraf”, “Miftah”, dan ada pula yang bernama “al-Mu’jam”. Masing – masing kitab petunjuk ini berbeda-beda sistem dan metode penyusunannya. Dalam uraian ini akan dijelaskan bagaimana cara menemukan suatu hadits dalam sumber- sumber, sehingga dapat diketahui matan dan sanadnya yang lengkap, dan pada gilirannya nanti akan diketahui pula nilai Hadits tersebut (bila diperlukan). Istilah yang sudah baku dalam masalah ini adalah takrij al-Hadits.
II. Pembahasan
A. Pengertian Takhrij Al-Hadits.
Kata “Takhrij” adalah bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa : “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah.[1]
Kata lain yang hampir sama (sinonim) dengan takhrij adalah “ ikhraj”. Kata dasar dari keduanya adalah “khuruj”. Dari kata ini dapat dibentuk kata makhraj (isim makan), yang berarti tempat keluar. Sehubungan dengan masalah ini ada kata – kata ahli Hadits untuk mengomentari beberapa Hadits, seperti diketahui tempat keluarnya atau tidak diketahui tempat keluarnya. Yang dimaksud tempat keluar (makhraj) dalam kalimat itu adalah tempat dari mana hadits itu keluar, yakni rangkaian orang yang meriwayatkannya, karena melalui jalan merekalah Hadits itu keluar.[2]
Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;
االتخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة
المراد بالدلالة على موضع الحديث, ذكر المؤلف التي يوجد فيها ذلك الحديث كقولنا مثلا : أخرجه البخاري في صحيحه إلخ.
Artinya :
“Menunjukkan letak Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu.[3] Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti menunjukkan sumber – sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan أخرجه البخاري في صحيحه (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya).
Sumber-sumber Hadits yang asli (primer) dimaksud adalah kitab- kitab Hadits, dimana para penyusunannya menghimpun Hadits-hadits itu melalui penerimaan dari guru-gurunya dengan rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi SAW. seperti kitab al- sittah (sahih, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, al- Turmudzi, al-Nasa’I, dan Ibnu Majah). Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim. Atau kitab-kitab Hadits yang menghimpun, meringkas atau membuat athraf (semacam kitab/hadits yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadist yang menunjukkan keseluruhannya). bagi kitab – kitab yang termasuk kategori di atas seperti al-Jami’ bayna al-sahihain karangan Al-Hamidi. Atau kitab – kitab non Hadits (seperti : tafsir, tarikh, fiqh, dan sebagainya) yang didalamnya terdapat hadits –hadits yang oleh penyusunnya dibawakan sendiri sanadnya sampai kepadanya, artinya Hadits itu tidak dikutip dari kitab lain, seperti : tafsir al-Thabari, tarikh al-Thabari, al-Umm al-Syafi’i[4].
Dari beberapa kitab hadits yang tidak dianggap sebagai sumber – sumber Hadits yang asli (primer) seperti : kitab –kitab yang isinya menerangkan tentang masalah hukum, contoh kitab bulughul maram min adillatil Al- ahkam karangan Al-hafidz ibnu hajar, begitu juga kitab-kitab hadits yang menghimpun urutan – urutan Alphabet arab contoh kitab Al-jami’ Al-shaghir karangan Imam Al-suyuthi dan kitab kitab hadis lain yang mengumpulkan hadis – hadis yang telah disebutkan diatas seperti kitab Al-arbai’n nawawiyah dan kitab riyadhus As-shalihin karangan Imam nawawi[5].
B. Macam – Macam takhrij
Adapun macam-macam takhrij itu ada 3 :
a. Takhrij Muwassa’.
b. Takhrij wasath atau mutawassith.
c. Takhrij Mukhtashar[6].
Berikut penulis makalah akan menjelaskan pengertian masing-masing takhrij diatas :
a. Takhrij al-Muwassa’ adalah
هوغاية التخريج ونهاية المطاف،وهو التخريج الذي يقوم فيه المخرِّج بإيراد الحديث بأسانيده مع الكلام على رواته وبيان درجته وتوضيح الغامض في متنه،ثم يذكر ما يكون له من شواهد،وما يقع فيه من علل.
Artinya :
“Takhrij yang dibentuk oleh mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) dengan cara mendatangkan hadits berserta sanad-sanadnya, mengomentari rowi, menjeaskan derajatnya dan hal yang samar pada matannya lalu serta menyebutkan syahid dan ilat – ilatnya dalam hadits”.
Adapun takhrij ini terdapat pada kitab badrul al-Munir karangan Ibnu al- Mulqin 10 jilid, kitab Nashbu al-Rayyah karangan az-Zailai’I 4 jilid dan kitab Ikhbarul al-Ahya’ bi al- akhbaaril al-ihya’ karangan Imam al-I’raqi
Adapun motif dari takhrij muwassa’ ini adalah untuk :
1. Memutawatirkan atau mempopulerkan hadits[7].
Contoh : Hadits tentang mengusap dua muzzah, dalam hadits ini Imam al-Zailai’ mengomentari hukum mengusap dua muzzah, beliau mengungkapkan bahwa hukum mengusap dua muzzah adalah boleh karena adanya dalil sunnah dan khabar – khabar yang mashhur yang membincangkan hadits tersebut. Imam al-zailai’ dari imam abu umar ibnu abdul al-Barr didalam kitabnya al- Istidzkar beliau berkata :
رَوَى عَنْ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ نَحْوُ أَرْبَعِينَ مِنْ الصَّحَابَةِ،
Artinya : 40 shahabat meriwayatkan tentang hadits mengusap dua muzzah dari nabi.
وَفِي الْإِمَامِ: قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: رُوِّينَا عَنْ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ: حَدَّثَنِي سَبْعُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Dan di dalam kitabnya al-Imam, imam ibnu al- Mundzir berkata : kami diriwayatkan hadits ini dari al-Hasan bahwasannya beliau berkata : telah menceritakan pada kami dari 70 shahabat nabi bahwasannya rosulullah pernah mengusap dua muzzah[8].
Selain itu juga Imam al-Zailai memperluas dalam takhrijnya, dan motif beliau mentakhrij ini bukanlah untuk menshahihkan hadits dan menolak ilat akan tetapi beliau mentakhrij hadits ini tujuannya hanyalah untuk memutawatirkan dan mempopulerkan hadits[9].
2. Mengungkapkan ilat atau menolaknya yang tertera dalam hadits, kemudian menghimpun dan mengadakan riset (penelitian) periwayat hadits yang mempunyai peranan penting dalam memastikan dan menolak ilat dalam hadits.
Dalam hal ini imam Ibnu al- Madini berkata :
" الحديثُ إذا لم تجمع طرقه لم تكشف علته".
Artinya : Jikalau hadits itu tidak terhimpun periwayatnya maka ilatnya tidak akan tersingkap.
Contoh : Hadits tentang dua qullah yang ditakhrij oleh Imam al-Daruthni didalam kitab sunannya dari 25 periwayat, dan beliau mampu menolak ilat hadits itu dikarenakan asumsi para ulama mengenai kekacauan hadits tersebut[10].
b. Takhrij wasath atau mutawassith
وهو تخريجٌ بين المطوَّل والمختصر،يعني فيه المخرِّج بذكر روايات الحديث المشهورة.
Artinya: Takhrij wasath atau mutawassith adalah takhrij diantara takhrij yang panjang dan ringkas, maksudnya si mukhorrij (orang yang mengeluarkan hadits) menyebutkan perowi hadits yang masyhur.
Adapun Takhrij ini terdapat dalam kitab al-Kasyfu al-Mubin An takhrij ahadiitsii ihya ulumuddin karangan al-Iraqi, kitab al-Talkhish al-Habir karangan hafidz ibnu hajar, kitab khulashoh al-Badrul munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan beliau ketika menjelaskan manhajnya di dalam kitab khulashoh beliau berkata : Motif saya dalam mentakhrij hadits yaitu untuk menyebutkan periwayat yang paling shohih dan hasan, dan di dalam maqalah – maqalah beliau tentang periwayat yang paling rojih (unggul), beliau memberikan isyarat dengan perkataannya yaitu dengan lafadz ) متفق عليه telah disepakati). Isyarat beliau ini muncul ketika yang meriwayatkannnya adalah Imam muhadditsin yaitu Imam Abu abdillah Muhammad ibnu ismail ibnu Ibrahim ibnu bardazbah al-Ju’fi al-Bukhori dan Abu al-Husain muslim Ibnu al-Hujjaj al-Qusyairi an-Nasyaaburi, dan beliau juga berkata : رواه الأربعة (diriwayatkan oleh 4 imam) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam al-Turmudzi didalam kitab jami’nya dan Abu dawud, an-Nasaii dan Imam ibnu majah didalam kitab sunannya. Dan beliau juga berkataرواه الثلاثة (diriwayatkan oleh 3 imam ) ketika yang meriwayatkannya adalah Imam yang telah disebutkan diatas di dalam kitab sunannya selain Imam Ibnu majah[11].
c. Takhrij mukhtashar
هو التخريج الذي يقتصر فيه المؤلف على رواية الحديث بأقوى أسانيد المؤلف أو بأعلاها وأشهرها - من حيث السند- وأدل ألفاظها وأدقها في العبارة عند مؤلفه على المعاني والأحكام - من حيث المتن-.
Yang dimaksud dengan takhrij Mukhtashar adalah Takhrij yang diringkas oleh pengarang kitab atas periwayatan hadits dengan sanad-sanad Muallif (pengarang kitab) yang lebih akurat atau dengan sanad- sanad muallif yang paling atas dan yang paling mashhur (terkenal) ditinjau dari segi sanad dan dengan lafadz yang lebih mengena dan lembut dalam ungkapannya tentang makna dan hukum – hukum menurut muallif ditinjau dari segi matan (konteks) hadits.
Di dalam takhrij ini ada 2 macam metodenya :
1. Takhrij dengan riwayah maksudnya adalah para ulama hadits mencantumkan sebagian perowi hadits dari beberapa perowi hadits yang ada kerena ada tujuan menurut pandangan salah satu dari ulama tersebut. Seperti kitab as-Shahih nya Imam bukhari yang diringkas dari kitab Musnad al-Kabir yang sebagian sanadnya yang shohih di tiadakan oleh beliau. Begitu pula kitab shahih ibnu al-Khuzaimah
2. Takhrij dengan penisbatan atau Ihalah (memindah) seperti kitab al-Muntaqa minal badril munir karangan Ibnu al-Mulqin, dan kitab at-Tarhib wa at-Tarhib karangan al-Mundziri, yang menjelaskan didalam muqaddimahnya, bahwa kitab tersebut mentakhrij kitab mukhtasshar[12].
C. Pengertian kutub al-Ashliyyah
Yang dimaksud dengan kutub al-ashliyyah adalah Kitab-kitab yang asalnya tanpa bersanad kemudian menjadi kitab yang mempunyai sanad.
Adapun Kutub al-Ashliyyah itu diantaranya terdapat pada kitab al-Adzkar an-Nawawi karangan Imam nawawi, kitab ini sebenarnya asalnya tidak bersanad. Namun setelah ada pentakhrijan kitab tersebut menjadilah nama kitab Nataijul afkar karangan Ibnu hajar yang bersanad. sehingga kitab al-Adzkar nawawi yang asalnya itu tidak bersanad menjadi bersanad yakni dengan sanadnya Imam ibnu hajar. Termasuk diantaranya kutub al-Ashliyyah yaitu kitab musnad as-Syihab karangan Imam al-Qadaii’ yang mana beliau menamainya dengan kitab as-Syihab. Di dalam kitab ini menerangkan beberapa hukum nabawiyyah, dan hadits – hadits yang patut untuk dijadikan sebagai contoh yang umum. Kitab as-Syihab yang dikarang oleh Imam al-Qadhaii ini pada dasarnya adalah kitab tampa bersanad kemudian beliau sendiri mengarang kitab ini dengan menjadikan kitab yang bersanad dan beliau menamainya dengan kitab musnad as- syihab.
Diantara kutub al-Asyliyyah yaitu kitab al-firdaus karangan Imam ad-Dilami yang asalnya tanpa bersanad, namun putra dari pengarang ini mensanadkan hadis-hadis kitab ayahnya dan putra beliau meriwayatkannya sampai pada Nabi Muhammad SAW, setelah itu kitab ini dinamai dengan kitab musnad al-Firdaus karangan Abu manshur syahradar Ibnu syairawih ad-Dailami yang asal karangan ayahnya tidak bersanad kemudian menjadi kitab yang bersanad[13].
D. Metode Takhrij Al-hadits
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadits, terlebih dahulu ia harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama yang perlu di maklumi adalah bahwa teknik pembukuan buku-buku hadits yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macam- macamnya. Di antaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadits didasarkan pada tema-tema tertentu seperti kitab Al- Jami Ash-Shahih li Al-Bukhori dan sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada huruf permulaan matan hadits diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti kitab Al-Jami Ash-Shaghir karya As- Suyuthi dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada[14].
Karena banyaknya teknik dalam pengkodifikasian buku hadits, maka sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penulusuran hadits dari sumber buku hadits yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafdzi), Takhrij dengan tema (bi al-maudhui), takhrij dengan permulaan Matan (bi Awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusus atau sanad hadits. Mari kita praktekkan satu – persatu di perpustakaan :
1. Takhrij dengan kata (bi al-lafzhi)
Metode takhrij pertama ini penulusuran hadits melalui kata/lafal matan hadits baik dari permulaan, pertengahan, dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadits An-Nabawi yang disusun A.j. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (kalimah isim) atau kata kerja (kalimah fi’il) bukan kata sambung (kalimah huruf) dalam bahasa Arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain kata sambung/ kalimah huruf kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa Arab yang hanya tiga huruf yang disebut dengan fiil tsulatsi. Jika kata dalam teks hadis yang dicari kata: مسلم misalnya, maka harus dicari asal akar katanya yaitu dari kata : سلم setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م. Demikian juga jika kata yang dicari itu kata: يلتمس maka akar katanya adalah: لمس kamus yang dibuka adalah bab ل bukan bab ي dan begitu seterusnya[15].
Kamus yang digunakan mencari hadis adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li-Alfazh Al-Hadits An-Nawawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun oleh tim orientalis di antaranya adalah Arnold JohnWensinck atau disingkat A.J.Wensinck (w.1939M) seorang profesor bahasa-bahasa Semit termasuk bahasa Arab di lafal dan penggalan matan hadis, serta mensistimatisasikannya dengan baik berkat kerja sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi. Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan penelusuran hadis dapat diketahui melalui periwatan dalam kitab-kitab yang ditunjukkannya[16]. Lafal-lafal hadis yang dimuat dalam kitab Al-Mu’jam ini bereferensi pada kitab induk hadis sebanyak 9 kitab yaitu sebagai berikut :
a) Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang :خ
b) Shahih Muslim dengan lambang: م
c) Sunan Abu Dawud dengan lambang:د
d) Sunan At-Tirmidzi dengan lambang:ت
e) Sunan An-Nasa’I dengan lambang :ن
f) Sunan Ibnu Majah dengan lambang :جه
g) Sunan Ad-darimi dengan lambang :دي
e) Muwatha’ Malik dengan lambang :ط
f) Musnad Ahmad dengan lambang :حم
Contoh hadis yang ingin ditakhrij :
لا تدخلون الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا
Pada penggalan teks diatas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata dari kata تحابو dapat dilihat bab ح dalam kitab Al-mu’jam karena kata itu berasal dari kata حبب. Setelah ditelusuri kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam juz 1 hlm.408 dengan bunyi :
م إيمان 93, أدب, 131. ت صفة القيامة 54, إستئذن 1, جه مقدمة 9, أدب 11, حم 1, 165
Maksud ungkapan diatas adalah :
93 إيمان م = Shahih Muslim kitab iman nomor urut hadits 93
131 أدب د = Sunan Abu Dawud kitab Al-Adab nomor urut bab 131.
صفة القيامة 54 ,إستئذان1 ت = Sunan At-Tirmidzi kitab sifah al- qiyamah nomor urut bab 54 dan kitab isti’dzan nomor urut bab1
جه مقدمة 9, ادب 11 = Sunan Ibnu Majah kitab Mukadimah nomor urut bab 9 dan kitab Al-Adab nomor urut bab 11.
حم 1, 165 = Musnad Imam Ahmad bin Hanbal juz 1 hlm. 165.
Pengertian nomor-nomor dalam Al-Mu’jam secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada Shahih Al-Bukhori Sunan Abu Dawud, sunan At-tirmidzi, Sunan An-Nasa’I, sunan Ibnu Majah dan sunan ad-Darimi menunjukkan angka bab bukan angka hadis.
b. Semua angka sesudah nama-nama kitab atau bab pada shahih Muslimdan muwataha’ Malik menunjukkan angka urut hadis bukan angka bab.
c. Dua angka yang ada pada kitab Musnad Ahmad angka yang lebih besar menunjukkan angka juz kitab dan angka sesudahnya atau angka yang biasa menunjukkan halaman. Hadis Musnad Ahmad yang berada di dalam kotak bukan yang di pinggir atau diluar kotak.
Al-Mu’jam hanya menunjukkan tempat hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis sebagaimana diatas. Maka tugas peneliti berikutnya menelusuri Hadis tersebut ke dalam berbagai kitab hadis sesuai dengan petunjuk Al-Mu’jam untuk dihimpun dan dianalisis perbandingan[17].
Metode takhrij dengan laladz ini mepunyai kelebihan dan kekurangan. Dintara kelebihannya adalah hadis dapat dicari melalui kata mana saja yang diingat peneliti tidak harus dihapal seluruhnya dan dalam beberapa kitab hadis. Sedangkan di antara kesulitannya adalah seorang peneliti harus menguasai Ilmu Sharaf tentang asal usul suatu kata.
2. Takhrij dengan tema (bi al-mawdhui)
Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran hadis yang didasarkan pada topic (mawdhui), misalnya bab Al-Khatam, Al-Khadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topic suatu hadis kemudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik[18]. Salah satu kamus hadis tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, terjemahan dari aslinya bebahasa Inggris A Handbook of Early Muhammadan karya A.J.Wensink pula. Dalam kamus Hadis ini dikemukakan berbagai topic baik berkenaan dengan petunjuk – petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topic biasanya disertakan subtopic dan untuk setiap sub topik dikemukakan data hadis dan kitab yang menjelaskannya[19].
Kitab – kitab yang menjadi referensi kamus Miftah tersebut sebanyak 14 kitab lebih banyak dari pada Takhrij bi Al-Lafzi di atas yaitu 8 kitab sebagaimana di atas ditambah 6 kitab lain. Masing-masing diberi singkatan yang spesifik yaitu sebagai berikut :
a) Shahih Al-Bukhori dengan diberi lambang : بخ
b) Shahih Muslim dengan lambing :مس
c) Sunan Abu dawud dengan lambing :بد
d) Sunan At- Tirmidzi denagn lambing :تر
e) Sunan An-Nasa’I dengan lambing :نس
f) Sunan Ibnu majah dengan lambang :مج
g) Sunan Ad-Darimi dengan lambang :مي
h) Muwaththa’ Malik dengan lambang :ما
i) Musnad Ahmad dengan lambang :حم
j) Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi :ط
k) Musnad Zaid bin Ali :ز
l) Sirah Ibnu Hisyam :هش
m) Maghazi Al- Waqidi :قد
n) Thabaqat Ibnu Sadin : عد
Kemudian arti singkatan – singkatan lain yang dipakai dalam kamus ini adalah sebagai berikut :
a) Kitab = ك
b) Hadis = ح
c) Juz = ج
d) Bandingkan (qobil) = قا
e) Bab = ب
f) Shahifah= ص
g) Bagian( qismun)= ق
Misalnya ketika ingin men-takhrij hadis :
صلاة اليل مثنى مثنى
Hadis tersebut temanya shalat malam (Shalat al-layl). Dalam kamus miftah dicari pada bab Al-Layl tentang shalat malam yaitu dihalaman 430. Di sana dicantumkan sebagai berikut :
بخ-ك 8 ب 84, ك145ب 1, ك 19ب 10
مس – ك 6 ح 145 – 148
بد – ك 5 ب 24
تر – ك 2 ب 206
مج – ك 2 ب 155 , 21
ما – ك 7 ح 7, 13
ما – ك 7 ح 7, 13
حم –ثان ص 5, 9, 10
Maksudnya hadis tersebut adanya dalam :
Al-Bukhori, nomor urut kitab 8 dan nomor urut bab 84, nomor urut kitab 145, nomor urut bab 1, nomor urut kitab 19 dan nomor urut bab 10.
Muslim, nomor urut kitab 6 dan nomor urut hadis 145- 148.
Abu Dawud, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 24.
At-Tirmidzi, nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206.
Ibnu Majah, nomor urut kitab 5dan nomor urut bab 172.
Ad- darimi nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 155 dan 21.
Muwaththa’ Malik, nomor urut kitab 7 dan nomor urut hadis 7 dan 13.
Ahmad, juz 2 halaman.5,9, dan 10.
Diantara kelebihan metode ini, peneliti mengetahui makna hadis saja tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadis, tidak perlu harus menguasai asal usul akar kata dan tidak perlu juga mengetahui sahabat yang meriwayatkannya. Di samping itu peneliti terlatih berkemampuan menyingkap makna kandungan hadis. Sedang diantara kesulitannya adalah terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadis atau kemungkinan hadis memiliki topik berganda[20].
3. Takhrij dengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan)
Takhrij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba dan seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan kitab Al-jami’ Ash-Shaghir Atau Al-Jami’ Al-kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir.
Kitab Al-jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan As-Suyuthi (w.911 H). Dia seorang ulama hadis yang memiliki gelar Al-Musnid (gelar keahlian meriwayatkan hadis beserta sanadnya) dan Al-Muhaqqiq (peneliti) dan hapal 200.999 hadis[21]. Sebuah kitab yang menghimpun ribuan hadis yang terpilih dan yang singkat-singkat dipetik dari kitabnya yang besar jam’u al- jawami’[22], terdiri dua juz susunan hadis kitab ini sesuai dengan urutan alphabet Arab alif, ba, ta, tsa, ja, ha, kha dan seterusnya….jika seorang peneliti ingin mencari hadis melalui kitab ini harus ingat huruf apa permulaan hadisnya, kemudian membuka kitab tersebut pada bab yang sesuai dengan huruf permulaan tersebut.
Misalnya ketika ingin mencari hadis yang populer di tengah – tengah santri dan mahasiswa :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Kita buka kitab Al-Jami’ Ash- Shaghir bab ط kita temukan pada juz 2 hlm. 54 ada 4 tempat periwayatan disebutkan yaitu sebagai berikut :
طلب العلم فريضة على كل مسلم ) عد هب ) عن انس (طص خط) عن الحسين بن علي (طس) عن ابن عباس, تمام عن ابن عمر (طب) عن إبن مسعود (خط) عن علي (طس هب) عن أبي سعيد (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وواضع العلم عند غير أهله
كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (ه) عن أنس (ض)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، وإن طالب العلم يستغفر له كل شئ حتى الحيتان في البحر, إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح)
طلب العلم فريضة على كل مسلم ، والله يحب إغاثة اللهفان (هب) إبن عبد البر في العلم عن أنس (صح).
Keterangan lambang – lambang di atas :
a.هب ) عد( = Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil
b. (طص خط)= Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir, خط = Al-Khathib
c. (طس)= Ath-Thabarani dalam Al-Awsath
d.(طب) = Ath-Thabarani dalam Al- kabir
e.صح) )= Hadis Shahih
f. (ه)=Ibnu Majah
g. (ض)= Hadis Dhaif
h. (صح) =Hadis Shahih
i. هب)) = Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
j. (صح) = Hadis Shahih
Dari hasil takhrij di atas ditemukan bahwa seluruh hadis hanya menyebutkan sampai مسلم tidak ada yang menyebutkan ومسلمة akan tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu, mungkin ada rujukannya asal dalam kitab hadis yang dapat dipedomani. Kualitasnya shahih 3 tempat dan yang satu dha’if.
Lambang –lambang singkatan sebagaimana di atas mempunyai makna dan telah dijelaskan oleh penyusunnya As-Suyuthi dalam Mukadimahnya, bagi yang ingin mengetahui secara menyeluruh dapat buka kitab Al-Jami’ Ash-Saghir bab Mukaddimah.
Di antara kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadis yang dicari dengan cepat dan mendapatkan hadisnya secara utuh atau keseluruhan tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode sebelunya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan hadis. Khawatir hadis yang diingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan atau akhiran hadis bukan permulaannya[23].
4. Takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-ala).
Takhrij ini menelusuri hadis melalui sanad yang pertama atau yang paling atas yakni para sahabat (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Berarti peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanadnya di kalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadis Musnad, atau Al-Athraf. Diantara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraf. Seperti Musnad Ahmad bin Hambal, Tuhfat As-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi dan lain-lain. Kitab Musnad adalah pengkodifikasian hadis yang sistematikanya didasarkan pada nama – nama sahabat atau nama- nama tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu[24]. Sedangkan Al-Athraf adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadisnya para sahabat atau tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal hadis.
Adapun manfaat dari kitab Athraf, antara lain adalah:
1. Memberi informasi tentang berbagai sanad hadits yang berbeda-beda secara keseluruhan dalam satu tempat. Dengan demikian dapat diketahui dengan mudah apakah Hadits itu gharib, aziz, atau masyhur;
2. Memberikan informasi tentang siapa saja di antara para penyusun kitab- kitab hadits yang meriwayatkannya dan dalam bab apa mereka mencantumkan; dan
3. Memberikan informasi tentang jumlah hadits setiap sahabat yang diriwayatkan Hadits dalam kitab-kitab yang dibuat athraf-nya[25].
Mengingat kitab athraf ini hanya menyebutkan sebagian matan hadits, maka untuk mengetahuinya secara lengkap masing- masing perlu merujuk kepada kitab sumber yang ditunjukkan oleh kitab athraf tersebut.
Cukup banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, di antaranya yang sangat populer adalah Musnad Ahmad bin hanbal (w.241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya latar belakang penulisannya agar mudah dihapal, beberapa hadis dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang meriwayatkannya. Kitab ini memuat sekitar 30.000 hadis sebagian pendapat 40.000 buah hadis secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak di sesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yakni pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat ahli bait, musnad sahabat-sahabat yang populer, musnad sahabat dari Mekkah (Al-Makiyyin),dari syam (Ash-Syammiyyin), dari kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Bagaimana Mentakhrij sebuah hadis berikut dalam musnad Ahmad :
عن أنس بن مالك قال أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة
Sahabat perawi sudah diketahui yaitu Anas bin Malik, terlebih dahulu Nama Anas itu dilihat pada daftar isi (mufahras) sahabat pada awal kitab Musnad, maka didapati adanya sahabat Anas pada juz 3 h. 98. Bukalah persatu hadis yang ingin dicari sampai ditemukan, maka ditemukan pada halaman 103. Dari pentakhrijan ini dapat dikatakan : Hadis tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz 3 h. 103.
Diantara kelebihan metode takhrij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan dengan pen-takhrij hadis dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain hanya memberikan informasi kedekatan dengan pentakhrijnya saja tanpa kitabnya. Sedang kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, di samping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah[26].
5) Metode takhrij melalui pengetahuan tentang Sifat khusus atau sanad Hadits.
Yang dimaksud[27] dengan metode takhrij ini, ialah memerhatikan keadaan-keadaan dan Sifat Hadits, baik dalam matan maupun sanadnya, kemudian mencari asal hadits-hadits itu dalam kitab-kitab yang[28] khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai keadaan atau sifat tersebut[29], baik dalam matan maupun sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah kedaan atau sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad, dan selanjut-nya yang ada pada matan, kemudian yang ada kedua-duanya.
a) Matan
Apabila pada matan hadits itu tampak tanda-tanda ke-maudhu’an, baik karena rendahnya bahasa atau karena secara jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sahih, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal Hadits itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits maudhu’. Dalam kitab ini akan diterangkan dengan jelas hal tersebut[30]. Kitab semacam ini adalah yang disusun secara alfabetis, antara lain “ kitab al-Mashnu’fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudhu’ li al-Syaikh ‘ila al-Qari’ al-harawi. “Dan ada pula yang secara tematis, antara lain; kitab Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Ahadits al-Syafiah al-Mawdhu’al-li al-kanani[31].
Apabila Hadits yang akan di-takhrij itu termasuk Hadits Qudsi, maka sumber yang paling mudah untuk mencarinya adalah kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits Qudsi secara tersendiri, antara lain:”kitab Misykah al-Anwar fina Ruwiya’an Allah SAT, min al Akbar li Ibn Arabi”. Kitab ini mengumpulkan 101 Hadits lengkap dengan sanadnya. Dan kitab al-Ittihafat al-Saniyyah bil-ahaadits al-Qudsiyyah karangan syekh Abdur-Rouf al-Manawi, beliau mengumpulkan 272 hadits tanpa sanad dan menyusun huruf secara alfabethis[32].
b) Sanad
Apabila di dalam sanad suatu Hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad itu mursal, maka Hadits itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan Hadits-hadits mursal, seperti:”al-Marasil li Abi Hatim Abd al-Rahman bin Muhammad al-Handhali al-Razi”, atau mungkin ada seseorang perawi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab”Mizan al-I’tidal li al-Dzahabi”[33].
c) dan sanad
Ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanadnya, misalnya:ada illah(cacat) atau ibham (samar-samar). Maka untuk mencari Hadits-hadits semacam itu, yaitu:
a. I’lal al-hadits li Ibn Abi Hatim al-Razi.
Kitab ini tersusun dari beberapa bab, menyebutkan hadits – hadits yang terkena ‘ilat didalam bab tersebut dan sekaligus menjelaskannya[34].
b. Al-Mustafad min Mubhamat al-Matan wa al-Isnad Ali Abi Zar’ah Ahmad bin Abd al-Rahim al-‘Iraqi[35].
E. Mengenal Takhrij Hadis Digital
Melakukan penelitian terhadap hadits-hadits Rasulullah SAW, mempunyai banyak faedah dan manfaat. Ulama-ulama terdahulu telah menunjukkan kelasnya yang luar biasa sebagai intelektual-intelektual hadits dalam menghimpun, meneliti dan melakukan telaah terhadap ribuan Hadits Nabi SAW yang diabadikan dalam karya-karya mereka, dan merupakan khazanah ilmu pengetahuan ummat islam khususnya di bidang hadits. Seiiring dengan perkembangan zaman, meminjam istilah A. Hasan Asy’ari Ulama’i “kesibukan dunia ilmu pengetahuan” yang kemudian memberikan inspirasi kepada para scientis berupaya melakukan inovasi-inovasi dalam memudahkan penelusuran hadits secara lebih efektif dan efisien. Ulama-ulama Muta’akhirin selanjutnya melakukan terobosan dengan memberikan “sentuhan teknologi” dalam melakukan takhrij hadits melalui perangkat CD hadits yang telah di desain sedemikian rupa.
Berikut ini penulis akan menggambarkan secara ringkas langkah-langkah takhrij hadits digital yang penulis kutip dari A. Hasan Asy-ari al-Ulama’i (2006: 79-80) dalam bukunya “Melacak Hadits Nabi SAW, Cara Cepat Mencari Hadits dari Manual Hingga Digital”. Berikut ini adalah langkah-langkahnya :
1. Penelusuran hadits dengan menggunakan CD Hadits Nabi SAW, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara: (sebagai catatan bahwa terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki, dalam hal ini CD Hadits yang tersedia membatasi pada 9 kitab hadits al-mu’tabar yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, jami’ al-Turmudzi, Sunan abi Dawud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal.
2. Penelususran hadits berangkat dari lafadz yang dikenal, contoh mencari hadits yang di dalamnya terdapat lafadz (وقنت رسول الله) maka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan huruf yang telah disediakan CD Hadits, atau dengan menuliskan sendiri lafadz itu pada tempat yang telah disediakan.
3. Penelusuran Hadits Nabi SAW, berangkat dari bab yang umumnya memuat hadits tersebut, misalnya dibuka di bab qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai, maka dapat diakses pada bab shalat, demikian seterusnya.
4. Penelusuran hadits berangkat dari rawi yang paling atas, dalam hal ini lebih rumit karena harus mencari lebih detail haditsnya, misalnya hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang tidak hanya berbicara masalah qunut saja, tetapi bercampur dengan hadits-hadits tema lainnya.
5. Penelusuran melalui nomor hadits, dan
6. Penelusuran hadits melalui tema-tema yang disediakan CD hadits Nabi SAW, itu sendiri.
F.Contoh penerapan Metode takhrij Al-hadits
Dalam hal ini penulis makalah membuat salah satu contoh penerapan metode takhrij al-Hadits, dengan menggunakan metode yang pertama, yaitu “metode takhrij al-Hadist melalui pengetahuan salah satu lafadz hadis”. Cara-cara lainnya dapat dikembangkan sendiri. Perbedaannya hanya terletak pada kitab rujukannya.
Misalnya : kita ingin mencari lafadz hadis tentang اللقطة (barang temuan) secara lengkap dan meneliti kualitas sanadnya. Dengan mengingat secuil lafadz اللقطة kita dapat melacak lewat kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Nabawi oleh A.J. Wensink. Karena kitab ini disusun menurut urutan alfabetis, maka kita bisa mencarinya pada huruf lam untuk lafadz اللقطة. Dengan mencari lafadz tersebut pada kitab al-Mu’jam , maka akan ditemukan kode, antara lain :
حم,192, 5,116,4,ط اقضية 46
Yang berarti :
1. Hadist tentang اللقطة itu dapat ditemukan dalam kitab Musnad Ahmad Ibnu Hanbal Juz 4 halaman 16; atau pada juz V halaman 193.
2. Hadits tentang اللقطة itu dapat ditemukan pada hadits Nomor 46 tentang “Aqdhiyah” di dalam kitab Muwaththa” oleh Imam Malik.
Adapun bunyi hadist selengkapnya tentang اللقطة tersebut, baik di dalam kitab Musnad Ahmad bin hanbal maupun di dalam kitab Muwaththa’Malik adalah sebagai berikut :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad :
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا محمد بن إسماعيل بن أبي فديك حدثني الضحاك بن عثمان عن أبي النضر مولى عمر بن عبيد الله عن بسر بن سعيد عن زيد بن خالد الجهني أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سئل عن اللقطة فقال عرفها سنة فإن جاء باغيها فأدها إليه وإلا فاعرف عفاصها ووكاءها ثم كلها فإن جاء باغيها فأدها إليه.
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya”al-Muwaththa”
حدثني مالك عن ربيعة بن أبي عبد الرحمن عن يزيد مولى المنبعث عن زيد بن خالد الجهني انه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فسأله عن اللقطة فقال اعرف عفاصها ووكاءها ثم عرفها سنة فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها قال فضالة الغنم يا رسول الله قال هي لك أو لأخيك أو للذئب قال فضالة الإبل قال مالك ولها معها سقاؤها وحذاؤها ترد الماء وتأكل الشجر حتى يلقاها ربها.
Rangkaian sanad Hadis diatas, baik yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal maupun Imam malik, bila digambarkan sebagai berikut :
Nabi Muhammad SAW
Zaid bin Khalid al-Juhaini
Basar bin sa’id (w.100/101 H) Yazid Maula al-Munbat’its
Abi al-hadhar Maula Rabi’ah bin Abi Abdirrahman (w. 133/136/142 H)
Umar bin Abdullah (w.129)
Al-Dhahhak bin utsman (w.154) Malik (93-179)
Abu bakar al-Hanafi Muhammad bin Ismai’l
Bin Abi Fudaik (w.200 H)
Ahmad bin Hanbal (164-214 H)
Abdullah (213-290)
Al-Qutha’i
Bila kita ingin meneliti kualitas Hadis tersebut, apakah sahih atau dha’if, maka dapat dilakukan penilaian terhadap tiap-tiap perawi yang terdapat dalam sanad Hadits tersebut. Untuk mengetahui masalah ini dapat dibaca kitab-kitab yang membahas tentang rawi-rawi Hadits yang relative lengkap yaitu:
1. Tahdzib al-Tahdzib oleh Ibnu al-Asqalani
2. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, oleh Ibnu Hajar; atau
3. Mizan al-I’tidal oleh al-Dzahabi, dan lain-lain.
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa ada jalur sanad hadits yang hendak diteliti, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam malik dalam kitabnya”al-Muwattha”, untuk mengetahuinya berikut penulis akan menjelaskan status perawi-perawi dalam kitab tahdzibnya ibnu hajar.
Pertama sanad hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal.
1. Abdullah
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ahmad Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani Abu al-Rahman al-Baghdadi. Lahir tahun 213 H dan wafat tahun 296 H. Dia telah menerima riwayat / hadits dari ayahnya (Ahmad bin Hanbal) dan sebagainya, dan Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Quthaí dan sebagainya.
Menurut Abu al-Husain bin Munada, bahwa tidak ada di dunia ini seorang perawi yang meriwayatkan Hadits dari ayahnya selain dia, karena dia mendengar dari ayahnya tentang musnad yang berjumlah 30000. Menurut Badr bin Abi Badr al-Baghdadi bahwa dia adalah seorang kritikus putra dari seorang kritikus. Menurut Al-khatib menyatakan bahwa dia adalah tsiqah,tsabat. Demikian pula pendapat An-nasa’I dan al-sulami bahwa dia adalah tsiqah sedangkan menurut Abu bakar al-Khilal[36] dia adalah seorang sholeh, mutqin, dan pemalu.
2. Ayah Abdullah (Ahmad bin Hanbal)
Nama lengkapnya adalah ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibani Abu Abd Allah al-Mawarzi al-Baghdadi. Lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 214 H. Dia menerima riwayat/ Hadits dari banyak perawi, termasuk di dalamnya Abu Bakar al-Hanafi dan Muhammad bin Ismaíl bin Abi Fudaik dan lain-lain, dan Haditsnya juga diriwayatkan oleh banyak perawi lain anaknya sendiri yang bernama Abd Allah dan lain-lain.
Ibnu Ma’in menyatakan, bahwa aku tidak melihat orang yang lebih baik dan lebih mulia dari Ahmad di Arab sekalipun. Abdurrazaq berkata bahwa, aku tidak melihat orang lebih faqih dan wara’ dari Ahmad. Menurut as-Syafii tidak ada perbedaan pendapat bahwa tidak ada orang yang lebih faqih, lebih zuhud, lebih wara’ dan lebih ‘alim daripada Ahmad. An-Ni’sa’I berkata bahwa, dia adalah tsiqah ma’mun dan salah seorang umam, Ibnu sa’ad juga berkata dia adalah tsiqah,shaduq, dan katsir al-Hadis[37]. Dan masih banyak lagi komentar-komentar serupa yang dikemukakan oleh Ulama Hadits yang tidak perlu dikemukakan secara detail di sini.
3. Abu Bakar al-hanafi
Nama lengkapnya adalah Abd al-kabir bin Abd al-Majdi bin Ubaid Allah bin Syuraik bin Zuhair bin sariyah Abu bakar al-Hanafi al-Bashari. Wafat pada tahun 204 H. Dia menerima riwayat utsamah bin Zaid al-Laitsi, al-Tsauri, Katsir ban Yazid, dan sebagainya. Walaupun tidak disebutkan nama al-Dhahak bin Utsman di sini, tetapi ketika membicarakan tentang dia (pada uraian No. 4 berikut), maka Abu Bakar al-Hanafi termasuk salah seorang perawi yang meriwayatkan Hadits dari dia. Haditsnya Abu Bakar al-Hanafi ini diriwayatkan oleh Ahmad dan sebagainya.
Menurut al-Atsram dari Ahmad dia adalah tsiqah. Demikian pula pendapat Abu zar’ah, Muhammad bin Sa’ad, al-Ajali bashari, dan al-‘Uqaili bahwa dia adalah tsiqah[38].
4. Al-Dhahhak bin Utsman
Nama lengkapnya adalah al-Dhahak bi Utsman bin Abd Allah bin Khalid bin Hizam al-Hizami Abi Utsman al-Madani al-Farsyi. Wafat di madinah pada tahun 153 H. Dia menerima riwayat Hadits dari salim Abi al-Nadzar dan sebagainya, dan Haditsnya antara lain diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Hanafi dan Ibnu Fudaik dan lainnya.
Menurut Ahmad, Ibnu Ma’in, al-‘Ajali, Al-Nisa’I bahwa dia adalah tsiqah. Ibnu sa’ad berkata bawa dia tsiqah, Ibnu Abdilbar berkata bahwa dia tsiqah katsir al-Hadis. Ibnu Abdil bar berkata bahwa para ulama sepakat dia adalah tsiqah tsabat. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam al-Tsiqah[39].
5. Abi al-Nadhar
Nama lengkapnya adalah salim bin Umayah al-Taimi Abu al-Nadhar al-Madani Maula Umar bin Abd Allah al-Taimi. Wafat pada tahun 129 H. Dia menerima riwayat / hadits antara lain dari Basar bin said dan sebagainya, dan haditsnya diriwayatkan oleh Malik, Amer bin al-Harits…..dan lain-lain, dan diduga al-Dhahhak bin Utsman masuk di dalamnya.
Menurut Ahmad, Ibnu Ma’in, al-‘Ajali, al-sa’I bahwa dia adalah tsiqot. Ibnu Said berkata bahwa dia al-Tsiqot katsir al-Hadits. Ibnu Abd al-Barr berkata para ulama sepakat dia adalah tsiqat tsabat. Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam tsiqoh[40].
6. Basar bin said
Nama lengkapnya adalah Basar bin Said al-Madani al-‘Abi Maula Ibnu al-Hadrhrami. Wafat pada tahun 100/101 H dalam usia 78 tahun. Dia menerima riwayat/Hadits dari zaid bin Khalid al-Juhani dan sebagainya.
Menurut Ibnu Ma’in an-Nasa’I dan al-A’jali Madani bahwaa dia adalah tsiqah. Ibnu sa’ad berkata behwa dia adalah tsiqah katsir al-Hadist. Dan Ibnu Hibban juga memasukkannya kedalam al-Tsiqah[41].
7. Zaid bin Khalid al-juhani (salah seorang sahabat Nabi SAW.)
Nama lengkapnya adalah zaid bin Khalid al-Juhani Abu Abdal-Rahman, disebut juga Abu Thalhah al-Madani. Wafat di Madinah pada tahun 78 H. dalam usia 85 tahun, sehingga dia dilahirkan sekitar tujuh tahun sebelum Hijrah Nabi. Dia menerima riwayat / Hadits dari Nabi SAW, dan sebagainya, dan Haditsnya antara lain diriwayatkan oleh Basar bin Said dan Yazid Maula al-Munbaitsn dan sebagainya. Abu Umar berkata bahwa, dia adalah pembawa panji Junainah dalam perang fath Mekkah, dan dia termasuk kelompok Muhajjirin yang pertama[42].
Kedua sanad hadis yang diriwayatkan oleh Malik.
1. Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Malik bin Amer bin al-Harits bin Utsman (Ibnu Jatsil bin Amer al-harits). Dia adalah Dzu Ashbah al-Himsyari Abu Abd Allah al-Madani al-Faqih, salah seorang ulama islam yang paling alim sebagai Imam dari al-Hijrah. Lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H[43]. Dia memerima riwayat dari Amir bin Abd Allah bin al-Zubair bin al-‘Awwam, Nuáim bin Abd Allah, Zaid bin Aslam, al-Zuhri, Rabiáh bin Abi Abd al-Rahman, dan sebagainya. Dan haditsnya diriwayatkan oleh al-Zuhri, Yahya bin Saíd al-Ansyari, dan sebagainya.
Al-Harits bin Miskin berkata : Aku telah mendengar sebagian ahli Hadits berkata bahwa Waki’ membaca di hadapan kami “ haddatsani al-tsabat, haddatsani al-tsabat”, kemudian kami bertanya sipaa itu (al-stabat)? Dia adalah Malik.
Al-Dawri dan ishaq bin manshur dari Ibnu Ma’in berkata bahwa dia adalah tsiqah Waki’ berkata bahwa dia adalah al-tsabat. Al-Husain bin Hasan al-Razi bertanya kepada Maín : man atsbatu ashhabi al-zuhri”? jawab beliau Malik. Demikian pula terdapat Ibnu Abi khaitsamah. Abd al-Razzaq dan lebih terpercaya dalam meriwayatkan Hadits dari pada Malik. Dan masih banyak lagi penilai lagi positif yang ditujukan kepada beliau yang tidak perlu dikemukakan semuanya disini[44].
2. Rabi’ah bin Abi Abd al-Rahman.
Nama legkapnya adalah Rabiáh bin Abi Abd al-Rahman bin Farukh al-Taimi Maulahum Abu Utsman al-Madani terkenal dengan Rabiáh al- Ra’yi. Wafat pada tahun 133/136/142 H. Dia menerima riwayat/hadis dari yazid Maula al-Munba’its dan lainnya, dan hadisnya antara lain diriwayatkan oleh Malik dan sebagainya. Abu Zar’ah al-Dimasqi dan Ahmad berkata bahwa dia adalah tsiqah. Al-‘Ajali, Abu Hatim dan Al-Nasa’I juga menilainya tsiqah. Ya’qub bin syaiban berkata bahwa dia adalah tsiqah, tsabat, salah seorang mufti di Madinah. Mu’adz bin Mu’adz al-‘Anbari dari siwar al-“anbari berkata : aku tidak melihat seorang mufti di Madinah. Mu’adz bin Mu’adz al-‘anbari dari siwar al-‘anbari berkata : aku tidak melihat seorang yang lebih ‘alim daripadanya dan al-Humaidi Abu Bakar menilainya hafidz[45].
3. Yazid Mawla al-Munbaits
Nama lengkapnya adalah Yazid Mawla al-Munbaits Madani tidak ditemukan tahun lahirnya wafatnya di dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib dan al-Kasyif. Dia menerima riwayat /hadis dari Zaid bin Khalid al-juhani dan sebagainya, dan Hadisnya antara lain diriwayatkan oleh Rabi’ah bin Abd al-Rahman. Penilaian terhadap beliau hanya dilakukan oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkannya di dalam al-Tsiqah[46].
4. Zaid bin Khalid al-Juhani (salah seorang sahabat Nabi SAW). Baca uraian terdahulu.
III. Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Takhrij hadits adalah Menunjukkan letak Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits itu bila perlu.
Di dalam takhrij ini terdapat beberapa metode yang sangat penting bagi kita seandainya kita mau mengadakan suatu penilitian hadits dan ingin mengetahui kualitas sanad hadits dan sanadnya. Dan didalamnya juga ada beberapa kitab yang diperlukan dalam mentakhrij suatu hadits. Berikut kami menghimbau kepada pembaca agar selalu membacanya dan mempraktekannya bila anda mau dan semoga apa yang saya tulis ini berguna bagi kita Amien.
Daftar pustaka
Ma’luf Louis, al-Munjid fi al-A’lam,(Beirut: Dar al-Masyariq, 1986).
Qasimi Al-, Qawa’id al-Tahdits Min Funun Mushthalahat al-Hadits, (Isa al-Babi al-Halabi Wa Syurakah, 1961).
Auni, Dr.Hatim bin a’rif al-, at-Takhrij Wa Dirosah al- Asanid, Multaqi Ahlil Hadits, Maktabah syamilah.
Dr.H.Abdul majid khon., Ulumul hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset,Cetakan kedua,th.2009, hlm. 118-119.
Thahhan Mahmud Al-, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991).
Muhdi bin Abdul Qadir, Abdul, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah SAW. (Cairo: Dar al-I’tisham, 1987).
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abi Bakar As-, Al-Jami’ Ash-Shaghir, jilid 11,(Surabaya: Al-hidayah),
[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-A’lam,(Beirut: Dar al-Masyariq, 1986), hlm. 172.
[2] Al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits Min Funun Mushthalahat al-Hadits, (Isa al-Babi al-Halabi Wa Syurakah, 1961), hlm. 129.
[3] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991), hlm. 10.
[4] Ibid, hlm.10-11.
[5] Ibid, hal. 12.
[6] A’li bin Nayif as-Syahud, Mufasshal fi Ushul at-Takhrij wa dirasah al-Asanid, Maktabah as-Syamilah, juz 1, hal 14.
[7] Ibid.
[8] Ibid,.hlm 15.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid,.hlm 111.
[12] Ibid,.111-113.
[13] Syekh Dr.Hatim bin a’rif, at-Takhrij Wa Dirosah al- Asanid, Multaqi Ahlil Hadits, Maktabah syamilah.
[14] Dr.H.Abdul majid khon., Ulumul hadis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, Cetakan kedua,th.2009, hlm. 118-119.
[15] Ibid.
[16] Ibid.,h.120.
[17] Ibid.,h.121.
[18] Ibid.
[19] Ibid., h.,121-122.
[20] Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, Thuruq Takhrij Hadits Rosulullah SAW. (Cairo: Dar al-I’tisham, 1987), hlm. 151 – 152.
[21] Ibid, hlm. 31.
[22] Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abi Bakar As- Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, jilid 11,(Surabaya: Al-hidayah), hlm 3.
[23] Dr.H.Abdul Majid Khon, M.Ag, Op.cit., h. 124-125.
[24] Mahmud al-Thahhan, Op, Cit. h.40.
[25] Mahmud al-Thahhan, Op, Cit. h.49.
[26] Ibid., h.125-126.
[27] Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, jilid 4,(Beirut: Al-Maktab al-Islami li al-Thaba’ah wa al-Nasr,t.t.), hlm.116.
[28] Ibid., juz 5, hlm. 193.
[29] Imam jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi’I, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik, juz 2, (Mesir: Mathba’ah Dar Ihya al-Kutub al’Arabiyah bin Mishr,t.t.), hlm.226.
[30] Mahmud al-Thahhan, Op, Cit., h.129.
[31] Ibid,h.130.
[32] Ibid.
[33] Ibid.h.130-131.
[34] Ibid.
[35] Ibid,h.132.
[36] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib, jilid V, (Beirut:Dar al-fikr,t.t.) hlm.142-143.
[37] Ibid, jilid1,hlm 72-76.
[38] Ibid, jilid VI,hlm.370-371.
[39] Ibid, jilid
[40] Ibid, jilid 3, hlm.431-432.
[41] Ibid, jilid 1, hlm.437-438.
[42] Ibid, jilid 3, hlm. 410.
[43] al-Dzahabi, al-sittah li Imam al-Dzahabi, jilid 3, (kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1972), hal. 112.
[44] Ibnu hajar al-‘Asqalani, op.cit, jilid X, hlm.5.
[45] Ibid, jilid 3, h, 258-259.
[46] Ibid, jilid 4,h .375.
0 Komentar