Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulamâ. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).(14
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murîd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. (15
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf . (17
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR. Ibn Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19 Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.(20
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf. (21
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jamaah. (22
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya. (23
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma para ulama. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Quran maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jamaah yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
footnote :
12) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4
13)Lihat al-Qânûn al-Asâsiy KH. Hasyim Asyari, Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
14) Ibid., hlm. 16
15) Ibid., hlm. 2
16) Ibid., hlm. 8
14) Ibid., hlm. 16
15) Ibid., hlm. 2
16) Ibid., hlm. 8
17) Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3
18)KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999, hlm. 39-41. Lihat pula KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.
19) HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Taif Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.
20) KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jamaah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jamaah: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 86-87.
19) HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljamaah, diterbitkan Majlis Taif Wa Tarjamah LP Maarif Jawa Timur, 1979, hlm 3.
20) KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jamaah dalam Praktek, IPNU Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljamaah, Pengertian dan Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jamaah: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 86-87.
21) A. Wahid Zaini, op.cit., hlm. 51
22) KH. A. Muchith Muzadi, op. cit., hlm. 29
23) KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hlm 4.
0 Komentar