Oleh : Sholeh Ahmad
PENDAHULUAN
Kitab suci al-Qur’an adalah , sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, bukan saja dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[1] Apabila dilihat dari segi asal-usul datangnya al-Qur’an ( asbab al-Nuzul) nya, adalah diyakini secara mutawatir bahwa, al-Qur’an itu benar-benar berasal dari Allah, tak ada satu ayatpun yang diragukan sebagai yang bukan berasal dari Allah. Bahkan Allah sendiri yang akan menjaga keotentikan al-Qur’an itu sepanjang zaman. Informasi ini dapat dijumpai dalam QS. Al-Hijr, ayat: 9; yang berbunyi :
Artinya : “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”.[2]
Berdasarkan informasi ayat tersebut di atas, memberi ketegasan bahwa terhadap al-Qur’an, hendaklah tak perlu lagi meragukan atau mempersoalkan, apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau bukan. Walaupun demikian tak ada larangan untuk memahami isi dan kandungan yang ada dalam al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan penafsiran. Hal itu disebabkan , karena al-Qur’an tidak banyak memuat segala persoalan atau problematika secara terperinci (detail), tetapi lebih banyak ketetapan-ketetapan hukum yang ada di dalamnya masih bersifat global dan umum. Mohammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, berkomentar dalam sebuah tulisannya : “Al-qur’an itu memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Dimana kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud, adalah mutlak. Dengan demikian ayat-ayat al-qur’an itu selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[3]
Jika demikian halnya, maka adanya penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan tafsir, mempunyai peran yang sangat besar. Dan sesungguhnya, persoalan tafsir – menafsirkan al-Qur’an , bila dilihat dari segi usianya, adalah merupakan kegiatan yang paling tua dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya dalam Islam.[4] Hal itu dapat ditelusuri sejarah awal penafsiran al-Qur’an , ternyata sudah ada sejak masa Nabi Saw. Dimana Nabi Saw. sendiri adalah orang yang paling berkompeten untuk memberikan penjelasan dan penafsiran.[5] Dengan kata lain, Nabi Saw. adalah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), khususnya terhadap ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau yang mungkin sama artinya. Baru setelah wafar Nabi Saw. para sahabat dan generasi tabi’ien , mulai melakukan ijtihad dalam menghadapi ayat-ayat yang tidah mudah dipahami. Kemudian dalam rangka menghadapi perkembangan zaman, banyak para mufassir yang berusaha dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an melalui berbagai macam pendekatan , seperti menggunakan metode tafsir yang bercorak ma’tsur (bercoran riwayat) dan yang bercorak ra’yu (pemikiran).[6]
Dari gambaran singkat tentang perkembangan tafsir, sebagaimana uraian di atas, dapat dirumuskan adanya suatu hal penting, diantaranya ialah : Sejauh mana peran dan fungsi hadis / sunnah Nabi saw. sebagai bayan (penjelas) terhadap model tafsir al-Qur’an .
HADIS SEBAGAI BAYAN TERHADAP MODEL TAFSIR AL-QUR’AN
Penjelasan Istilah
Pengertian Hadis.
Pengertian hadis dapat dilihat melalui dua pendekatan, baik secara linguistik (kebahasaan) maupun secara terminologis (istilah). Hadis secara linguistik, berasal dari bahasa Arab, hadasa – yahdusu – hadasan – hadisan, dengan pengertian yang bermacam-macam, seperti bermakna: al-Jadid (yang baru) lawan dari al-Qadim (yang lama), al-Qarib (yang dekat, yang belum lama terjadi), bisa juga berarti al-Khabar (kabar atau berita).[7] Hadis dalam arti khabar ini, banyak dijumpai pemakaiannya dalam al-Qur’an. Salah satu diantaranya, terdapat dalam Qs. Al-Thur, ayat : 34, seperti:
Artinya : Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan al-Qur’an itu, jika mereka mengaku orang-orang yang benar”.[8]
Dalam pengertian istilah (terminologi), hadis secara sempit, bermakna :
“ Ialah, suatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang lainnya.”[9]
Adapun hadis dalam pengertian yang lebih luas, ialah suatu sunnah, khabar dan atsar, yakni segala sesuatu yang dinukilkan dari Rasululah Saw., dari para sahabat atau dari tabi’in, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan lainnya.[10] Dalam pengertian ini, hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw. biasa disebut marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut mauquf , dan yang disandarkan kepada tabi’in biasa disebut maqthu’.[11]
Pengertian Model Tafsir
Kata “model”, yang terdapat pada judul di atas memiliki arti : contoh, acuan, ragam atau macam.[12] Sedangkan kata “tafsir”, yang berasal dari bahasa Arab : fassara – yufassiru – tafsiran, berarti : penjelasan, pemahaman, dan perincian.[13] Tafsir juga berarti, al-idlah wa al – tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.[14] Pendapat lain mengatakan bahwa, kata tafsir itu sejajar dengan timbangan (wazan) kata “taf’il”, diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf, yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula berarti al-tafsarah, yakni suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui suatu penyakit.[15] Sementara Imam al-Zarqany, mendefinisikan tafsir , ialah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an, baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dengan yang dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.[16] Perlu ditambahkan di sini, adanya istilah lain yang hampir sama dengan pengertian tafsir, yakni kata “ta’wil”. Menurut bahasa, kata “ta’wil”, adalah diambil dari kata “aul” yang berarti kembali atau berpaling. Dilafadhkan dengan shigat “ta’wil” , dimaksudkan untuk memfaedahkan ta’diyah (supaya berarti mengembalikan). Ada pula yang mengatakan bahwa kata “ta’wil” itu diambil dari kata “ail”, yang berarti memalingkan. Yakni, memalingkan ayat dari makna dhahir kepada sesuatu makna yang dapat diterima olehnya lantaran ada dalil yang menghendakinya.[17] Suatu contoh tentang “ta’wil” , dalam memahami makna ayat yang artinya : “ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati “. ( Qs. Al-An’am: ayat, 95 ). Dalam pengertian tafsir, yang dikehendaki oleh ayat tersebut , adalah “mengeluarkan burung dari telurnya”, sedangkan jika dikatakan bahwa, yang dikehendaki ayat tersebut adalah mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir. Maka yang demikian itu dinamakan “ta’wil”. Untuk lebih jelasnya , mengenai definisi ta’wil ini, dapat dilihat dari pendapat As Said al-Jurjany, sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqiy, sebagai berikut :
“ ta’wil ialah memalingkan lafadz dari makna yang dhahir kepada makna yang muhtamil (makna yang dapat diterima), apabila makna yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah”. [18]
Hadis Sebagai Bayan Terhadap Model Tafsir al-Qur’an
Telah diketahui, bahwa makna dan kandungan al-Qur’an kebanyakan adalah masih bersifat ‘am (umum) dan mujmal (global). Hal itu tentu saja menghajatkan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dan detail . Muhammad Saw. sebagai Rasulullah, telah diberikan tugas dan otoritas (wewenang penuh) untuk menjelaskan terhadap makna al-Qur’an.[19] Hal itu sebagaimana dijelaskan Allah Swt. Dalam al-Qur’an , surat : an-Nahl, ayat : 44, yangberbunyi :
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan mudah-mudahan mereka pada memikirkan.” [20]
Ayat ini, adalah merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan makna al-Qur’an, sekaligus merupakan fasilitas legal dari Allah, atas kewajiban umat Islam untuk mentaati dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi saw. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Musthafa as-Sibaiy secara garis besar menjelaskan, bahwa terdapat tiga fungsi Nabi Saw. dalam arti Hadis / Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an, di antarnya : (1) Sebagai memperkuat hukum yang terkandung dalam al-Qur’an, baik yang global maupun yang detail. (2) Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an , yakni mentaqyidkan (mempersyaratkan) yang mutlak, mentafshilkan yang mujmal dan mentakhsiskan (penentuan yang khusus) atas yang masih ‘am. (3) Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an.[21]
Beberapa contoh mengenai fungsi hadis / sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Musthafa as- Siba’iy, seperti yang dikutip oleh Fatchur Rahman, menjelaskan :[22]
(1) Sebagai penetapan untuk memperkuat hukum , seperti dalam al-Qur’an yang mengharamkan tentang bersaksi palsu atau berkata dusta, firman Allah berbunyi :
Artinya “ Dan jauhilah perkataan dusta “.
Kemudian Nabi Saw. dengan hadisnya menguatkannya , sebagaimana sabdanya:
Artinya : “ Perhatikanlah ! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian tentang sebesar – besarnya dosa. Sahut kami : Baiklah yaa Rasulullah , beliau meneruskan sabdanya ; musyrik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua. Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk , seraya bersabda lagi ; Awas ! berkata (bersaksi) palsu.
(2) Menjelaskan hukum al-Qur’an yang masih mujmal, misalnya: Nash al-Qur’an, mengharamkan bangkai dan darah secara global dan mutlak, seperti firman Allah QS. Al-Maidah : 3; mengatakan :
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan ) bangkai”.
Kemudian al-Sunnah mentaqyidkan (memberi persyaratan) kemutlakannya, dan mentaksiskan (memberi ketentuan khusus) atas keharamannya, serta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah . Sebagaimana Sabda Nabi Saw. menjelaskan :
“ Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu, ialah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa”. ( HR. Ibn Majah dan al-Hakim ).
(3) Sebagai dasar untuk menetapkan hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an, seperti larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena dianggap muhrim (senasab) , misalnya sabda Nabi Saw.
“ Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (HR. Bukhari-Muslim).
Kemudian berdasarkan pendapat para ‘ulama, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail, menjelaskan ;[23] bahwa , fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap model tafsir al-Qur’an secara garis besar meliputi hal sebagai berikut :
Sebagai Bayan Taqrir
Yaitu, sebagai penjelas untuk mengokohkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an , sebagai misal sabda Nabi Saw. mengatakan:
“ Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah ) kamu sesudah melihat bulan”. ( HR. Bukhari – Muslim , dari Abu Hurairah ).
Hadis ini, adalah meruipakan penguat atau pengokoh terhadap ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya: “ ( Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil), karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….”.
Sebagai Bayan Tafsir
Yang dimaksud, ialah sebagai penjelas atau penerang terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global) dan yang musytarak ( dobitus : satu lafadz mengandung beberapa makna). Misalnya hadis Nabi Saw. mengatakan:
“ Bershalatlah kamu, sebagimana kamu melihat aku shalat”. (HR. Bukhari-Muslim …).
Hadis ini, merupakan penjelas terhadap firman Allah Swt. , yang bersifat global, yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendirikan shalat dan juga hadis Nabi Saw., yang berbunyi :
Artinya: “ Thalaq budak itu dua kali , dan iddahnya dua kali haid”. (HR. Abu Dawud-Turmuzi-Ibn Majah dari ‘Aisyah ) .
Hadis tersebut, adalah merupakan penjelas terhadap ayat al-Qur’an yang mengendung kata-kata musytarak, seperti kata “ quru’” dalam ayat yang berbunyi :
Artinya: “ Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…”.
Kata “quru” dalam ayat tersebut , bisa berarti haid dan bisa juga berarti suci.
Sebagai Bayan Tabdil atau Bayan Nasakh
Yang dimaksud, ialah sebagai pengganti atau menasakh (menghapus) suatu hukum yang ada dalam al-Qur’an. Sebagaimana hadis Nabi Saw., menunjukkan, yang berbunyi :
“ Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris , maka dengan ketentuan itu tak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.
Hadis ini, merupakan pengganti (nasakh) terhadap hukum wasiat , sebagaimana yang dikemukakan oleh firman Allah Swt., yang berbunyi :
Artinya : “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (adil dan baik), ( hal ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.
Dari beberapa pendapat , sebagaimana tersebut di atas, ulama di kalangan ahl al-Hadis maupun di kalangan ahl al-Fiqh, juga sependapat, seperti diantaranya :
Imam Malik, berpendapat bahwa fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an, setidaknya meliputi : (a) Sebagai bayan taqrir (lihat keterangan sebelumnya). (b) Sebagai bayan taudlih (tafsir) (lihat keterangan di atas). (c) Sebagai bayan tafshiel, yakni memerinci kandungan ayat- ayat yang mujmal. (d) Sebagai bayan tabsith (bayan ta’wil), yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an, dan juga (5) sebagai bayan tasyri’, yaitu mengadakan suatu hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an.
Imam Syafi’iy, menambahkan bahwa, fungsi al-Hadis atau al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an itu meliputi : (a) Sebagai bayan tafshiel (lihat keterangan sebelumnya). (b) Sebagai bayan takhsish , yakni menjelaskan tentang kekhusussan suatu ayat yang umum, seperti hadis Nabi Saw., menyatakan :
“ Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir, begitupun sebaliknya, orang kafir dari orang meslim”. ( HR. Imam Bukhari dan Muslim ). Hadis ini merupakan bentuk takhsish atas ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya : “ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan …”. ( QS. An-Nisa’ , ayat : 11). (c) Sebagai bayan ta’yin, yakni menjelaskan atau menentukan mana yang dimaksud di antara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan. Misalnya tentang pengertian “quru” (lihat pada keterangan di atas). (d) Sebagai bayan tasyri’(lihat keterangan sebelumnya). (e) Sebagai bayan nasakh (lihat keterangan terdahulu), dan (f) sebagai bayan isyarah, yakni sebagai qiyas.
PENUTUP
Dengan selesainya pembahasan tentang pokok utama judul di atas, dapatlah disimpulkan beberapa hal penting di sisni, di antaranya meliputi hal sebagai berikut:
- Persoalan tafsir, sebagai cara untuk memberi penjelasan (bayan) terhadap makna –makna ayat al-Qur’an yang sulit difahami, adalah termasuk kegiatan dibidang ilmu yang paling tua usianya, sebab sudah ada sejak zaman Nabi Saw.
- Fungsi al-Hadis / al-Sunnah terhadap tafsir al-Qur’an , memiliki peran yang sangat penting, mengingat masih banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am dan mujmal (global) yang tentu saja membutuhkan penjelasan , terutama yang datang dari Nabi Saw.
- Peran al-Hadis terhadap tafsir al-Qur’an, hal itu meliputi : Sebagai bayan taqrir, tafsir (taudlih), tabdil (nasakh), tafshiel, tabsith (ta’wil), tasyri’ dan sebagai bayan takhsish.
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI., Departemen. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya : Penerbit Mahkota, 1989.
Al-Zarqaniy, Muhammad al-Adzim. Manabil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz II. Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, t.th.
Al-Suyuthi, Syaikh al-Islam Jala al-Din ‘Abd al-Rahman. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz I. Cet. Ke-III; Mesir : Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951.
Arkoun, Mohammad. , Shireen T. Hunter (ed.). The Politics of Islam Revivalism. Blamington : Indiana University Press, 1989.
As-Siba’iy, Musthafa. Al-Sunnah wamakanatuha fit Tasyri’ al-Islamiy. Mesir : Ad-Darl Qaumiyyah, t.th.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir . Cet. Ke- 13; Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
At-Tarmusy, Muhammad Mahfudh. Manhaj Dzawin Nadhar. Surabaya: Maktabah Nabhaniyah, t.th.
Hanafi, Hasan. Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Diniy. Mesir: Madbuliy, 1989.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. Ke-2; Bandung: Angkasa, 1991.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Cet. Ke-6 ; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke- XII; Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Rahman, Fatchur. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Cet. Ke- 7; Bandung: PT Alma’arif, 1991.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an – Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Cet.ke-VII; Bandung: Mizan, 1994.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. Beirut Librairie Du Liban & London : Macdonald & Evans Ltd., 1974.
[1] Lihat Hasan Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Diniy, ( Mesir: Madbuliy, 1989), h. 77.
[2] Lihat Departemen Agama RI., Al-qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi, ( Surabaya:Penerbit Mahkota, 1989),h.391.
[3] Lihat Mohammad Arkoun, dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islam Revivalism, (Blomington : Indiana University Press, 1989), h. 182-3.
[4] Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (cet. Ke- 6 ; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 163.
[5] Lihat M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (cet. Ke-2; Bandung : Angkasa, 1991), h. 53.
[6] Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an-Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, ( cet. Ke-VII; Bandung: Mizan, 1994), h. 83-5.
[7] Lihat M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., h. 1.
[8] Lihar Departemen Agama RI., Op. Cit., h.869.
[9] Lihat M. Mahfudh at-Tarmusy, Manhaj Dzawin Nadhar, ( Surabaya: Maktabah Nabhaniyah, t.th.), h. 7.
[10] Lihat Abuddin Nata, Op.Cit., h. 189.
[11] M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 9.
[12] Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (cet. Ke-XII ; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 653.
[13] Lihat Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librairie Du Liban & London : Macdonald & Evans Ltd., 1974), h. 713.
[14] Lihat Muhammad al-Adzim al-Zarqany, Manabil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz II, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, t.th.), h. 3.[15] Lihat Syaikh al-Islam Jalalal-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, (cet. Ke-III; Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951), h. 173.
[16] Lihat Muhammad al-Adzim al-Zarqany, Op.Cit., h. 3.
[17] Lihat M. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (cet. Ke-13; Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 181.
[18] Ibid., h. 180.
[19] Lihat M. Quraish Shihab, Op.Cit., h. 128.
[20] Departemen Agama RI., Op.cit., h. 408.
[21] Lihat Musthafa as-Siba’iy, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: ad-Darul Qaumiyyah, t.th. ), h. 346.
[22] Lihat Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (cet. Ke-7; Bandung: PT Al-ma’arif, 1991), h. 47-9.
[23] Lihat M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 55 – 8.
0 Komentar